Demokrasi merupakan puncak pencapaian ilmu, ideologi dan wisdom hasil karya ummat manusia abad 20-21. Demokrasi telah disepakati untuk menjadi satu-satunya “kiblat” dalam urusan kehidupan bernegara dan berbangsa. Hampir tidak ada ketidak-sepakatan terhadap demokrasi.
Semua orang menjunjung demokrasi. Semua orang merasa salah, bodoh dan dekaden kalau ragu terhadap demokrasi. Tidak ada pidato Presiden, bahkan Soeharto, apalagi sesudahnya, yang tak mengerek bendera demokrasi. Tak ada pendapat dalam diskusi, perdebatan dalam talk-show, seminar, disertasi dan tesis, pun pidato Pak Lurah dan Ketua RT, bahkan ketika terbaring sendiri di bilik pribadi, kita bergumam-gumam sendiri “I love you democracy!” dalam pikiran dan hati.
Itu tak lain karena saking sucinya demokrasi. Sayapun dipersilahkan oleh demokrasi untuk mengabadikannya dalam tulisan, meskipun sungguh sangat sulit. Orang kotor mustahil menggagas kesucian. Dan meskipun tulisan ini berangkat dari niat menjunjung tinggi demokrasi, sesungguhnya modal hidup kotor saya tidak menambah tingginya kesucian demokrasi yang saya junjung. Kesucian tidak memerlukan pengakuan dari kekotoran bahwa ia suci.
Mungkin kalimat-kalimat saya ini ibarat ungkapan Iblis yang mencoba menjunjung Tuhan, karena pada dasarnya ia sangat takut kepada Tuhan dan hanya mau “menyungkurkan diri” di hadapan Tuhan. Saya sangat mencintai demokrasi, tetapi itu tidak berarti saya mampu menerapkan demokrasi dalam perilaku hidup saya.
Demokrasi itu bak “perawan”, yang merdeka dan memerdekakan.
Watak utama demokrasi adalah “mempersilahkan”. Tidak punya konsep menolak, menyingkirkan atau membuang. Semua makhluk penghuni kehidupan berhak hidup bersama si Perawan, bahkan berhak memperkosanya: yang melarang memperkosa bukan si Perawan itu sendiri, melainkan “sahabat”nya yang bernama Moral dan Hukum.
Si Perawan bisa ditunggangi oleh kaum kapitalis di Eropa untuk menyingkirkan kekuasaan Gereja dan dulu Kerajaan-kerajaan. Dan sesudah kapitalisme menguasai panggung bangsa dan masyarakat, demokrasi tidak mengharuskan para kapitalis untuk bersikap demokratis, karena demokrasi tidak memiliki karakter untuk mengharuskan.
Para Capres, Caleg, Cagub-Cawagub, Cabup-Cawabup, bisa mengendarai Perawan untuk berhak menyerap dana dari siapapun demi menerapkan strategi mencapai jabatan yang hendak diraihnya. “Money politic” tidak dilirik atau diawas-awasi oleh si Perawan, karena yang bertugas untuk itu adalah Undang-undang. Demokrasi bukan tak punya daya untuk mengantisipasi korupsi dan penyelewengan, tetapi memang itu bukan bagiannya. Demokrasi bahkan mempersilahkan siswa SD menenggak narkoba, murid SMP nonton bareng video porno, lelaki berpoligami atau bermonogami, suami-suami istri-istri bertukar teman tidur, warga ikut nyoblos atau memilih golput, atau melakukan apapun dan tidak melakukan apapun dalam kehidupan yang merdeka semerdeka-merdekanya.
Yang mengurusi narkoba bukan demokrasi, tapi rekanan kerja peradabannya yang bernama Ilmu Kesehatan. Yang mengantisipasi video porno adalah Moral dan Keselamatan Hidup. Yang merespon pertukaran suami istri adalah Keseimbangan Sosial. Yang mewaspadai pemilu dan golput adalah pertandingan kekuasaan dan akses politik.
Demokrasi itu perawan suci yang yatim dan piatu. Tak punya Bapak Ibu, nasabnya belum pernah diperjelas. Ia memerdekakan manusia sepenuh-penuhnya. Semua dan setiap manusia sangat membutuhkan kesucian demokrasi, sebagian untuk tempat berlindung, dan sebagian lain untuk melakukan eksploitasi dan subversi pengkhianatan nilai.
Hendaklah setiap manusia menikahi demokrasi, memperistri atau mempersuami si Perawan, tetapi ajaklah ia tinggal di rumah Hukum, yang berfundamen Ilmu, di lingkungan pertetanggaan Moral, dengan sirkulasi udara Budaya, dengan menjaga pertatapan wajah dan sorot mata nurani, serta pemeliharaan rahasia iman dan perhubungan sunyi Tuhan.
Demokrasi adalah makhluk terindah hasil karya ummat manusia selama peradaban. Manusia Jawa meromantisirnya dengan sebutan Kiai Demos dan Pangeran Kratos. Makhluk penjunjung demokrasi sangat meyakini bahwa puncak pencapaian kecerdasan dan nurani mereka sejak “Renaissance” ini belum pernah digapai oleh ummat manusia pada era manapun sebelumnya: Atlantis dan Lemorian, Hastinapura, Inka dan Maya, Hud iradzatim’imad, ribuan tahun Dinasti Pharao, Jawa-Dwipa, Medang Kamulan, atau kurun apapun, tidak juga pernah dicapai oleh makhluk Laserta, Smarabhumi, Nyi Roro Kidul dan siapapun.
Peradaban modern hingga post-modernism hingga post-globalism bahkan sangat mudah menemukan keunggulannya: yakni meyakini bahwa apapun saja yang mereka belum tahu, apapun saja yang akal pikiran dan penelitian ilmu mereka belum menjangkau — itu berarti inexist, unbeing, tiada. Yang ada dalam kehidupan ini hanyalah yang orang sekarang mengetahuinya ada dan menganggapnya ada. Mengetahui dengan kasat mata dan jasad telinga.
Kiai Demos dan Pangeran Kratos, yang melahirkan “maha” – teknologi, dari gedung-gedung sangat tinggi hingga se-debu chip yang dipasang di jidat setiap orang, dunia maya yang memperkerdil jagat menjadi segenggaman tangan, bozone dan fermione, nano technology, persenjataan kimia rahasia, atau apapun — sama sekali jangan dibandingkan dengan teknologi lidi Lombok Pawang Hujan, helai rambut santet, celak-Arab dan tanah kuburan Jin, Ilmu Katuranggan, takir Dewi Sri, dan apapun yang dibangga-banggakan di masa silam.
Kekuasaan Tuhan dengan seluruh jajaran birokrasi-Nya, dari para Malaikat Menteri hingga Datu Laut, Danyang gunung, Kepala Dinas Awan dan Hujan dan ribuan “PNS” maupun “Angkatan Bersenjata” – Nya — sudah digantikan oleh Kongres Amerika, 3 juta hadirin pelantikan Obama, strategi Java Tel-Aviv, bursa modal di tangan anak turun Ismail ben Ibrahim dan tata kelola jagat raya di genggaman turunan Ishaq ben Ibrahim, dipembantu-umumi Bill Gates dan Steve Job. Bahkan perusahaan penyelenggaraan haji internasional berada dalam kendali ben Laden.
Semua itu kini sedang mencapai puncak dan ujungnya. Jika sebentar lagi tiba suatu hari di mana yang inexist tiba-tiba exist, yang unbeing mendadak nongol being, yang nothing mencegatmu sebagai a real true thing: si Perawan akan mulai belajar menjanda.
Tulisan ini ditulis di Cak Nun (Muhammad Ainun Najib)
Semua orang menjunjung demokrasi. Semua orang merasa salah, bodoh dan dekaden kalau ragu terhadap demokrasi. Tidak ada pidato Presiden, bahkan Soeharto, apalagi sesudahnya, yang tak mengerek bendera demokrasi. Tak ada pendapat dalam diskusi, perdebatan dalam talk-show, seminar, disertasi dan tesis, pun pidato Pak Lurah dan Ketua RT, bahkan ketika terbaring sendiri di bilik pribadi, kita bergumam-gumam sendiri “I love you democracy!” dalam pikiran dan hati.
Itu tak lain karena saking sucinya demokrasi. Sayapun dipersilahkan oleh demokrasi untuk mengabadikannya dalam tulisan, meskipun sungguh sangat sulit. Orang kotor mustahil menggagas kesucian. Dan meskipun tulisan ini berangkat dari niat menjunjung tinggi demokrasi, sesungguhnya modal hidup kotor saya tidak menambah tingginya kesucian demokrasi yang saya junjung. Kesucian tidak memerlukan pengakuan dari kekotoran bahwa ia suci.
Mungkin kalimat-kalimat saya ini ibarat ungkapan Iblis yang mencoba menjunjung Tuhan, karena pada dasarnya ia sangat takut kepada Tuhan dan hanya mau “menyungkurkan diri” di hadapan Tuhan. Saya sangat mencintai demokrasi, tetapi itu tidak berarti saya mampu menerapkan demokrasi dalam perilaku hidup saya.
Demokrasi itu bak “perawan”, yang merdeka dan memerdekakan.
Watak utama demokrasi adalah “mempersilahkan”. Tidak punya konsep menolak, menyingkirkan atau membuang. Semua makhluk penghuni kehidupan berhak hidup bersama si Perawan, bahkan berhak memperkosanya: yang melarang memperkosa bukan si Perawan itu sendiri, melainkan “sahabat”nya yang bernama Moral dan Hukum.
Si Perawan bisa ditunggangi oleh kaum kapitalis di Eropa untuk menyingkirkan kekuasaan Gereja dan dulu Kerajaan-kerajaan. Dan sesudah kapitalisme menguasai panggung bangsa dan masyarakat, demokrasi tidak mengharuskan para kapitalis untuk bersikap demokratis, karena demokrasi tidak memiliki karakter untuk mengharuskan.
Para Capres, Caleg, Cagub-Cawagub, Cabup-Cawabup, bisa mengendarai Perawan untuk berhak menyerap dana dari siapapun demi menerapkan strategi mencapai jabatan yang hendak diraihnya. “Money politic” tidak dilirik atau diawas-awasi oleh si Perawan, karena yang bertugas untuk itu adalah Undang-undang. Demokrasi bukan tak punya daya untuk mengantisipasi korupsi dan penyelewengan, tetapi memang itu bukan bagiannya. Demokrasi bahkan mempersilahkan siswa SD menenggak narkoba, murid SMP nonton bareng video porno, lelaki berpoligami atau bermonogami, suami-suami istri-istri bertukar teman tidur, warga ikut nyoblos atau memilih golput, atau melakukan apapun dan tidak melakukan apapun dalam kehidupan yang merdeka semerdeka-merdekanya.
Yang mengurusi narkoba bukan demokrasi, tapi rekanan kerja peradabannya yang bernama Ilmu Kesehatan. Yang mengantisipasi video porno adalah Moral dan Keselamatan Hidup. Yang merespon pertukaran suami istri adalah Keseimbangan Sosial. Yang mewaspadai pemilu dan golput adalah pertandingan kekuasaan dan akses politik.
Demokrasi itu perawan suci yang yatim dan piatu. Tak punya Bapak Ibu, nasabnya belum pernah diperjelas. Ia memerdekakan manusia sepenuh-penuhnya. Semua dan setiap manusia sangat membutuhkan kesucian demokrasi, sebagian untuk tempat berlindung, dan sebagian lain untuk melakukan eksploitasi dan subversi pengkhianatan nilai.
Hendaklah setiap manusia menikahi demokrasi, memperistri atau mempersuami si Perawan, tetapi ajaklah ia tinggal di rumah Hukum, yang berfundamen Ilmu, di lingkungan pertetanggaan Moral, dengan sirkulasi udara Budaya, dengan menjaga pertatapan wajah dan sorot mata nurani, serta pemeliharaan rahasia iman dan perhubungan sunyi Tuhan.
Demokrasi adalah makhluk terindah hasil karya ummat manusia selama peradaban. Manusia Jawa meromantisirnya dengan sebutan Kiai Demos dan Pangeran Kratos. Makhluk penjunjung demokrasi sangat meyakini bahwa puncak pencapaian kecerdasan dan nurani mereka sejak “Renaissance” ini belum pernah digapai oleh ummat manusia pada era manapun sebelumnya: Atlantis dan Lemorian, Hastinapura, Inka dan Maya, Hud iradzatim’imad, ribuan tahun Dinasti Pharao, Jawa-Dwipa, Medang Kamulan, atau kurun apapun, tidak juga pernah dicapai oleh makhluk Laserta, Smarabhumi, Nyi Roro Kidul dan siapapun.
Peradaban modern hingga post-modernism hingga post-globalism bahkan sangat mudah menemukan keunggulannya: yakni meyakini bahwa apapun saja yang mereka belum tahu, apapun saja yang akal pikiran dan penelitian ilmu mereka belum menjangkau — itu berarti inexist, unbeing, tiada. Yang ada dalam kehidupan ini hanyalah yang orang sekarang mengetahuinya ada dan menganggapnya ada. Mengetahui dengan kasat mata dan jasad telinga.
Kiai Demos dan Pangeran Kratos, yang melahirkan “maha” – teknologi, dari gedung-gedung sangat tinggi hingga se-debu chip yang dipasang di jidat setiap orang, dunia maya yang memperkerdil jagat menjadi segenggaman tangan, bozone dan fermione, nano technology, persenjataan kimia rahasia, atau apapun — sama sekali jangan dibandingkan dengan teknologi lidi Lombok Pawang Hujan, helai rambut santet, celak-Arab dan tanah kuburan Jin, Ilmu Katuranggan, takir Dewi Sri, dan apapun yang dibangga-banggakan di masa silam.
Kekuasaan Tuhan dengan seluruh jajaran birokrasi-Nya, dari para Malaikat Menteri hingga Datu Laut, Danyang gunung, Kepala Dinas Awan dan Hujan dan ribuan “PNS” maupun “Angkatan Bersenjata” – Nya — sudah digantikan oleh Kongres Amerika, 3 juta hadirin pelantikan Obama, strategi Java Tel-Aviv, bursa modal di tangan anak turun Ismail ben Ibrahim dan tata kelola jagat raya di genggaman turunan Ishaq ben Ibrahim, dipembantu-umumi Bill Gates dan Steve Job. Bahkan perusahaan penyelenggaraan haji internasional berada dalam kendali ben Laden.
Semua itu kini sedang mencapai puncak dan ujungnya. Jika sebentar lagi tiba suatu hari di mana yang inexist tiba-tiba exist, yang unbeing mendadak nongol being, yang nothing mencegatmu sebagai a real true thing: si Perawan akan mulai belajar menjanda.