Sabtu, 04 Agustus 2012

Manusia Setelah Ibrahim II

Proses-proses sejarah 'menyuruh' kita disuatu soal turun merangkul substansi benda, di soal lain substansi turnbuh-tumbuhan, mempopulerkan tata nilai hewan terutama di bidang politik dan ekonomi; kemudian 'kwalitas manusia' tidak kunjung kita temukan karena substansi dan sistematika keilmuan kita terletak beberapa langkah di belakang kesadaran untuk menterjemahkan maqam abdullah meningkat lagi khalifatullah. Kita belum tahu apa integritas daun pepaya atau seekor cicak dalam kerangka keabdullahan dan kekhalifahan.
Proses internalisasi itu tentu saja seret karena kwalitas kemanusiaan yang belum mengandalkan penghayatan pribadi, tradisi riset dan 'membaca gejala alam semesta'. 'Remaja' Ibrahim memulai disiplin itu.
(Ismail hingga Muhammad adalah derajat empiris ilmu-ilmu yang lebih tinggi dan complicated lagi).
Tiba-tiba kita hidup di hadapan sebuah meja makan besar dalam suatu acara prasmanan di mana kita tinggal memilih makan-makanan jadi. Kita mengambil kue serabi, lantas mengerahkan lidah, perasaan dan tenaga untuk merasakannya, bukan untuk menelusuri sejarah serabi. Kita tidak memiliki imaji tentang pati, tungku pemasak, sumber api, grabah pencetak, bagaimana wajah pembikin kue serabi dan bagaimana bau keringatnya. Kita juga baru ingat gula kalau duduh serabi itu terlalu manis atau kurang manis.
Dengan kata lain, untuk 'menjadi' Muhammad, kita tidak terlebih dahulu 'berperan' sebagai Adam dan seterusnya hingga Isa sambil pusing oleh panggung penah bias hasil terjemahan-terjemahan parsial setiap tahap itu ke dalam upaya penyusunan peradaban ummat manusia termasuk sejak St. Paul hingga NKK BKK atau Index Prestasi (IP) brengsek itu.
Kita tidak berangkat dari Muhammad balik ke Adam sampai Muhammad kembali. Kita pemeluk Islam cukup dengan mentuhankan Muhammad, mentuhankan syariat, mentuhankan iman, mentuhankan Islam, mentuhankan a-pa yang kita sangka Tuhan.
Kita tidak mengambil hikmah dari keummyan Muhammad. Kita lebih mengandalkan informasi melalui kalimat-kalimat di buku-buku sebagai 'kue serabi' yang siap disantap bulat-bulat. Kita ingin menghayati api dengan cara pergi ke perpustakaan dan mengobrak-abrik seratus buku tebal. Padahal mustinya sundutlah jidat ini dengan rokok menyala, baru buka buku untuk tambahan bahan nomenklatuur. Masalahnya pegangan
kita bukan Qur'an hadist, melainkan penghayatan dari kitab suci kita pakai untuk mencocokkan, mengontrol, mengishlah, meluruskan. Alif Laam Miim tak kau temukan melalui membacanya : hayati hidup, baru kau ketemu rahasianya. Lebih gawat lagi karena sesudah buku-buku pandai menyebar jutaan jumlahnya lebih dari dasawarsa terakhir ini, belum tampak juga tanda-tanda bahwa ia memiliki peranan dalam memperbaiki sejarah. Begitu banyak buku Islam dijual dan dibaca, namun belum tahu apa yang meningkatkan pada kwalitas Kaum Muslimin. Mungkin haruskah kita tunggu hingga sekitar tahun 2010 ketika generasi pembaca buku saat ini naik memimpin sejarah. Atau barangkali dibanding sosialisasi buku-buku pintar, 'perbaikan jaman' lebih dimungkinkan justru buku-buku baik serta oleh uswatun hasanah yang disistematisir oleh lembaga pendidikan khususnya dan lembaga politik dan lembaga kebudayaan pada umumnya.
loading...

Artikel Terkait

Posting Terbaru