Kamis, 23 April 2015

PANNA = KEBIJAKSANAAN

PANNA = KEBIJAKSANAAN

Dhammapiti Sukham seti, Vipassannena cetasa
Ariyappavedite dhamme, sada ramati pandito

Ia yang mengenal Dhamma akan hidup berbahagia dengan pikiran tenang. Para bijaksana selalu bergembira dalam Dhamma yang dibabarkan oleh para Ariya.

(Dhammapada, Syair 79)

      Di dalam kitab Abbidhammatthasangaha disebutkan ada tiga jenis panna (kebijaksanaan), yaitu :
1.      Sutta maya pannaadalah kebijaksanaan yang diperoleh dengan mendengarkan Dhamma atau membaca buku-buku Dhamma.
2.      Cinta maya panna adalah kebijaksanaan yang diperoleh dengan melakukan penyelidikan atau pemikiran. Jadi, dengan merenungkan apa yang telah dilihat atau didengar.
3.      Bhavana maya pannaadalah kebijaksanaan yang didapat dari melaksanakan vipassana bhavana.

Seseorang yang memiliki kebijaksanaan suta yaitu sempat mendengarkan Dhamma dari Sang Buddha atau siswa-Nya, sudah cukup membuat orang tersebut berbahagia di dunia ini dan setelah meninggal dunia bisa terlahir di alam bahagia (surge) seperti yang dialami oleh Nandiya.

Nandiya adalah saudagar kaya dari kota Baranasi. Ia memiliki keyakinan juga pendana dermawan dan pelayan sangha. Tetapi dia belum berkeluarga, ibunya meminta agar Nandiya menikahi sepupunya yang bernama Revati. Tetapi Nandiya tidak bersedia karena Revati tidak memiliki keyakinan dan tidak dermawan.

Ibunya tidak kehabisan akal, ibunya memberi instruksi kepada Revati untuk melakukan perbuatan baik sehingga Nandiya mau menikahinya. Caranya, Revati dianjurkan untuk ikut melayani Bhikkhu Sangha pada waktu diadakan upacara dana makanan. Revati setuju mengikuti petunjuk yang diberikan oleh ibu Nandiya.

Keesokan harinya ibu Nandiya mengundang bhikkhu sangha yang dipimpin oleh Sang Buddha untuk menerima dana makanan di rumahnya. Ibunya juga mengundang Revati untuk melayani bhikkhu sangha. Ketika bhikkhu sangha hadir, Revati dengan ramahnya mempersilahkan bhikkhu sangha memasuki ruang makan. Setelah mempersilakan duduk, dia juga melayani bhikkhu sangha dengan makanan, minuman dan memuaskannya.

Perilaku Revati yang luhur ketika melayani bhikkhu sangha mendapat perhatian dari Nandiya. Ibunya berkata kepada Nandiya, ‘nak , lihat, Revati sekarang sudah berubah, dia memiliki keyakinan terhadap Sang Tiratana’.

Maka, Nandiya setuju menikahinya dan Revati melahirkan dua putra. Karena bahagia maka Nandiya mengadakan acara dana besar-besaran yaitu membangun aula di Vihara Isipatana dan dipersembahkan kepada Sang Tathagata, juga melakukan pelimpahan jasa.

Pada saat itu juga , di alam dewa Tavatimsa muncul istana surgawi seukuran dua belas yojana, lengkap dengan perabotannya dan peri-peri sebagai pelayannya yang diperuntukkan buat Nandiya.
Mendengarkan hal ini, Nandiya merasa gembira dan memberikan dana-dana serta melakukan tindakan-tindakan berjasa.

Berbeda dengan istrinya, Revati tidak mempunyai keyakinan, pandangannya keliru. Dia menganggap berdana itu merugikan dirinya sendiri, maka dia menghentikan semua dana dan terus menerus mencaci dan menghina para bhikkhu dengan berkata, ‘karena merekalah maka semua kekayaan dan perolehan ku berkurang’.

Pada akhir kehidupan suami istri tersebut, Nandiya setelah meninggal dunia langsung terlahir di alam surge. Sedangkan istrinya , Revati, karena banyak melakukan perbuatan buruk langsung terlahir di alam Neraka Samsavaka.

Sabbe satta bhavantu sukhitatta.

Oleh : Bhikkhu Khemaviro (19 April 2015).
Sumber : Berita Dhammacakka No. 1084 tanggal 19 April 2015
KISAH KESABARAN KERABAT SANG BUDDHA
Kapilavatthu, kota suku Sakya, dan Koliya, kota suku Koliya, terletak di sisi-sisi Sungai Rohini. Petani kedua kota bekerja di lading yang diairi oleh sungai tersebut. Suatu tahun mereka memperoleh hujan yang tidak cukup, sehingga padi serta hasil panen lainnya mulai layu. Petani di kedua sisi sungai ingin mengalirkan air dari Sungai Rohini ke lading mereka masing-masing. Penduduk Koliya mengatakan bahwa air sungai itu tidka cukup untuk mengairi dua sisi, dan jika mereka dapat melipat-gandakan aliran air ke lading mereka barulah itu akan cukup untuk mengairi padi sampai menguning.
Pada sisi lain, penduduk Kapilavatthu menolak hal itu, apabila mereka tidak mendapatkan air, dipastikan hasil panen mereka akan gagal, dan mereka akan terpaksa membeli beras orang lain. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak siap membawa uang dan barang-barang berharga ke seberang sungai untuk ditukar dengan makanan.

Kedua pihak menginginkan air untuk kebutuhan mereka masing-masing, sehingga tumbuh keinginan jahat. Mereka saling memaki dan menantang. Pertentangan antar petani itu sampai didengar oleh para menteri Negara masing-masing, dan mereka melaporkan kejadian tersebut kepada pemimpin mereka masing-masing, sehingga orang-orang di kedua sisi sungai siap bertempur.

Sang Buddha melihat sekeliling dunia dengan kemampuan batin Beliau, mengetahui kerabat-kerabat Beliau akan bertempur. Beliau memutuskan untuk mencegahnya. Seorang diri Sang Buddha ke tempat mereka dengan melalui udara, dan segera berada di tengah sungai. Kerabat-kerabat Beliau melihat Sang Buddha, dengan penuh kesucian dan kedamaian duduk di atas mereka, melayang di udara. Mereka meletakkan senjatanya ke samping dan menghormat kepada Sang Buddha.

Kemudian Sang Buddha berkata kepada mereka, “Demi keperluan sejumlah air, yang sedikit nilainya, kalian seharusnya tidak mengorbankan hidupmu yang jauh sangat berharga dan tak ternilai. Kenapa kalian melakukan tindakan yang bodoh ini ? Jika saya tidak menghentikan kalian hari ini, darah kalian akan mengalir seperti air di sungai sekarang. Kalian hidup saling membenci, tetapi saya sudah tidak membenci; kalian akan menderita karena kekotoran batin, tetapi saya sudah bebas darinya; kalian berusaha memiliki kesenangan hawa nafsu, tetapi Saya tidak berusaha untuk itu”.

Kemudian Sang Buddha membabarkan Dhammapada syair 197, 198 dan 199 :
Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa membenci di antara orang-orang yang membenci; di antara orang-orang yang membenci kita hidup tanpa membenci.
Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa penyakit di antara orang-orang yang berpenyakit; di antara orang-orang yang berpenyakit kita hidup tanpa penyakit.
Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa keserakahan di antara orang-orang yang serakah; di antara orang-orang yang serakah kita hidup tanpa keserakahan.

Banyak orang pada waktu itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.

Sumber : Dhammapada Atthakatha


loading...

Artikel Terkait

Posting Terbaru