MEMBANGUN BUDAYA SANTUN DALAM AGAMA BUDDHA
Sukarani asadhuni, attano ahitani ca
Yam ve hitan ca saddhun ca, tam ve paramadukkaram.
Sungguh mudah untuk melakukan hal-hal yang buruk dan tidak bermanfaat, tetapi sungguh sulit untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat.
(Dhammapada Atta-Vagga; 163)
Secara umum banyak orang telah melupakan nilai-nilai keluhuran yang telah diajarkan dalam ilmu perilaku yang dikenal dengan sebutan “Agama”. Nilai keluhuran tertuang dalam norma budaya dengan istilah budaya santun. Budaya santun meruapakan ajaran yang telah diwariskan oleh para leluhur. Budaya santun secara buddhos juga telah diajarkan oleh Buddha dalam Dhamma yang dikenal dengan etika atau moralitas. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia arti dari santun adalah (1) halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar dan tenang; sopan; (2) penuh rasa belas kasihan; suka menolong.
Terkait dengan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa satun merupakan suatu ilmu yang mengajarkan seseorang untuk menjadi lebih halus lemah lembut. Pernyataan ini telah Buddha jelaskan dalam bait Mangala Sutta yaitu “terlatih baik dalam tata susila”. Manusia pada umumnya wajar melakukan tindakan kesalahan,akan tetapi menjadi tidak wajar apabila selalu melakukan keburukan tanpa adanya tindakan untuk menyadari perbuatan buruknya.
Perbuatan buruk merupakan kebiasaan (budaya0 yang sering dilakukan dari tiga pintu indria, yaitu pikiran, ucapan, dan perilaku badan jasmani. Budaya santun akan terbentuk apabila seseorang dapat menjalankan isi dari Mangala Sutta yang ebrbunyi sbeagai berikut :
Bahusaccanca sippanca
Vinayo ca susikkhito
Subhasita cay a vaca
Etammangalamuttamanti
Berpengetahuan luas, berketerampilan, terlatih baik dalam tata susila, dan bertutur kata dengan baik, itulah Berkah Utama.
a. Santun Berpikir
Keburukan yang dilakukan dari pikiran seering terjadi dengan berpikir buruk terhadap orang lain, berpikir keliru, memiliki pandangan salah. Hal-hal tersebut sudah menjadi budaya yang tidak baik dalam diri seseorang yang seharusnya mampu berpikir jernih. Santun dalam berpikir akan terbentuk apabila seseorang memiliki pengetahuan dalam berpikir yang ditembus dalam pengembanagn meditasi, yaitu mengetahui dengan jelas pikiran baik dan buruk yang sedang muncul. Secara bijaksana seseorang memotong pikiran buruknya dengan kesadaran, perhatian dan kewaspadaan. Selanjutnya adalah memiliki keterampilan dalam berpikir, yaitu mampu terampil dalam menata pikiran, disamping seseorang terampil dalam segi kerajinan tangan. Keterampilan yang sesuai dengan Dhamma merupakan bagian dari seni yang juga dipuji oleh Sang Buddha. Orang yang tidak terampil dalam emnata pikiran , maka ia akan dengan serampangan berpikir hal-hal yang buruk dan tidak bermanfaat dengan mudah. Terkait pikiran, tertuang dalam Dhammapada Yamaka – vagga, 1; pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu. Pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk”. Bila seseorang berbicara dan berperilaku dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki pikiran, ucapan, dan perilaku yang murni, maka perbuatan baiknya akan mengikuti seperti baying-bayang yang tidak pernah mengikuti bendanya.
b. Santun Bertutur Kata
Ucapan yang tidak baik terkadang seseorang melakukannya dengan sengaja. Hal ini merupakan tindakan dari keburukan yang sering dilakukan. Terkadang orang mengucapkan istilah salam “Namo Buddhaya”, akan tetapi kelanjutan dari rentetan pembicaraannya berisikan ucapan yang buruk dan tidak bermanfaat. Umat Buddha yang terkadang sering ke vihara justru menjadi pelaku dalam ucapan yang tidak baik, seperti memarahi orang dengan kata kata kasar, gossip dan memfitnah. Hal-hal ini tidak sesuai dengan isi Mangala Sutta yaitu bertutur kata dengan baik (vinayo ca susikkhito)”. Santun dalam berucap adalah seseorang dengan pengetahuannya dapat mengendalikan ucapannya untuk tidak melontarkan kata-kata yang buruk dan tidak bermanfaat. Sehingga perasaan orang lain terluka karenanya.
c. Santun Berperilaku
Perilaku yang dilakukan oleh badan jasmani dituntut untuk diwaspadai. Banyak orang yang melupakan budaya santun dalam berperilaku. Erperilaku dapat dikategorikan dalam ebberapa bagian, yaitu berperilaku dalam tindakan dan berperilaku dalam berbusana. Realita yang dapat dilihat apabila melakukan perbandingan umat Buddha di daerah , desa, pedalaman jauh lebih santun dalam berperilaku dalam tindakan , seperti contoh mereka ke vihara selalu memberi salam Anjali pada sahabat-sahabatnya, memberikan perhatian di kala sakit, membantu pada saat ada kegiatan, tahu malu pada saat di vihara dengan mendengarkan ceramah Dhamma secara serius, tidak berbicara sendiri, tidak bermain handphone, tahu batas ukuran makan, sebagai intinya rasa toleransi masih terpelihara dengan baik.
Selain itu berbudaya santun dalam berpakaian, semua serba tertutup dalam berpakaian, punya rasa enggan ke vihara dengan busana yang serba kekurangan. Kalau dibandingkan dengan umat Buddha di kota, meskipun tidak semuanya. Akan tetapi ada diantara mereka ke vihara tidak beretika dalam berbusana, hal ini juga kurang terampil dalam memilih pakaian. Selain itu juga perasaan malu dalam menyapa orang yang ditemui dengan bersikap Anjali. Budaya Anjali seolah-olah bukan tradisi Buddhis, sehingga malu untuk melakukannya. Buddha juga menjelaskan dalam Mangala Sutta :
Attasamapanidhi ca
Etammangalamuttamam
(membimbing diri dengan benar, merupakan bagian dari berkah utama).
Apabila seseorang semasa hidupnya tidak membimbing diri dengan benar, justru menjerumuskan duru ke dalam liang derita, maka dalam waktu yang panjang pula penderitaan yang dirasakan pada dirinya. Berbuat buruk dan hal yang tidak bermanfaat adalah suatu hal yang mudah dan sulit bagi mereka yang mau berbuat baik dan hal yang bermanfaat.
Hidup seseorang akan bermanfaat, bahagia, tenteram, damai, apabila mampu menerapkan budaya santun dalam berpikir, berucap dan berperilaku. Hal ini telah dijelaskan oelh Sang Buddha dalam Anguttara Nikaya III; 50, yaitu : “Mahluk apapun yang berperilaku benar lewat tubuh, ucapan, dan pikiran. Sepanjang pagi, siang, dan malam, maka sepanjang itupula mereka akan bahagia dan kebahagiaan itu akan menjadi milik mereka”.
Ceramah Dhamma oleh : Bhikkhu Uggaseno tanggal 24 Mei 2015
Sumber : Berita Dhammacakka no. 1089 tanggal 24 Mei 2015