Jumat, 08 Agustus 2014

5 masalah utama yang dihadapi pebisnis teknologi di Indonesia

Dijual biji jagung Popcorn ukuran:
1. 200 gram   = Rp. 8.000,-
2. 250 gram   = Rp. 10.000,-
3. 500 gram   = Rp. 20.000,-
4. 1000 gram = Rp. 40.000,-
Bagi yang berminat hubungi : 089652569795 / pin bb: 7dfe719a / hubungi email : ricky_kurniawan01@yahoo.com


5 masalah utama yang dihadapi pebisnis teknologi di Indonesia

Jakarta
Banyak ungkapan dan statistik yang dilontarkan saat investor global membicarakan potensi startup teknologi di Indonesia. Seringkali mereka terpukau dengan tingkat pertumbuhan ekonomi sebanyak enam persen beberapa tahun terakhir, atau dengan banyaknya populasi yang mencapai 250 juta; lebih dari separuhnya berusia produktif di bawah 29 tahun, juga demografi menunjukkan kenaikkan adopsi produk teknologi dan perilaku konsumtif naik ke level baru dalam kurun waktu kurang dari satu dekade. Angka-angka tersebut memang sangat menggiurkan. Namun VC dan angel investor yang telah lama bermain di Indonesia mengungkapkan cerita berbeda – negara kepulauan ini merupakan pasar menggiurkan, namun bisa sangat sulit dipahami dan juga menjemukan. Banyak startup gagal mencoba peruntungan di negara ini. Bukan karena ide, eksekusi, atau founder yang buruk, melainkan karena negara memiliki beberapa tantangan pasar yang sangat unik.
Founder harus berpikir tentang perbedaan budaya, tingkat pendidikan yang berbeda-beda sehingga menciptakan banyak segmen masyarakat, infrastruktur lokal yang tidak dapat diandalkan, dantingkat kepercayaan pada bisnis e-commerce yang masih di bawah rata-rata (meskipun komunitas startup besar percaya masalah ini pelan-pelan hilang). Berikut lima tantangan unik bagi investor sebelum memulai langkah bisnis baru di Jakarta yang penuh tantangan menggiurkan:

1. Dangkalnya sumber daya manusia

Seperti negara tetangga lainnya di Asia Tenggara lainnya, Indonesia masih kekurangan tenaga profesional handal. Berdasarkan International Labour Organization (ILO), Indonesia semakin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja seiring dengan cepatnya laju globalisasi, perkembangan teknologi mutakhir, dan pola kerja dinamis. ILO juga mengklaim masalah tersebut diperparah dengan adanya emigrasi tenaga profesional, tenaga kerja yang semakin menua, dan kurangnya fasilitas untuk penyediaan pelatihan.
startup lokal
Bank Dunia mengungkap buruknya sistem pendidikan sebagai penyebab utamanya, dan berakibat kurangnya kemampuan berpikir dan perilaku karyawan yang dinilai cukup penting bagi perusahaan. Hal ini diperburuk dengan fakta bahwa banyak karyawan muda di Indonesia yang tampaknya belum diberikan bekal cukup untuk pekerjaannya atau untuk kehidupan profesional secara umum. Untuk menghindari masalah ini, banyak entrepreneur memilih untuk meng-outsource kemampuan teknis yang mereka butuhkan dari negara maju.
(Baca juga: Tips mengatasi depresi bagi entrepreneur startup di Asia )

2. Rumitnya birokrasi

AFP mengungkapkan Indonesia merupakan salah satu negara terburuk bagi startup untuk urusan birokrasi. Situs Startups.co.uk mengartikan birokrasi sebagai kode etik, hukum dan peraturan yang dibuat saat memulai bisnis baru. The Organisation for Economic Co-operation and Development(OECD) mengatakan rata-rata dibutuhkan lima hari dan lima prosedur untuk membangun entitas korporasi di negara seperti AS. Sedangkan di Indonesia membutuhkan sembilan prosedur dan 47 hari.
rumitnya birokrasi
Survey yang dilaksanakan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) memberi peringkat pada 12 negara utama dari skala 1 hingga 10, dengan 10 sebagai nilai terburuk dalam kesulitan prosedural yang dialami investor asing. Indonesia berada di posisi terendah kedua dengan nilai 8,59, di atas India di posisi terakhir dengan 9,41. Indonesia dikalahkan negara berkembang lainnya seperti Filipina (8,37), Vietnam (8,13), dan Thailand (5,53).

3. Target konsumen yang sulit diraih

Indonesia, negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia, merupakan posisi kelima dari pasar e-commerce di Asia berdasarkan penjualan. Pengguna internet di negara ini tumbuh menjadi 74,6 juta di tahun lalu dan seharusnya dapat tumbuh dua kali lipat menjadi 125 juta di tahun 2017. Namun jangan cepat tergiur untuk berinvestasi. Coba cermati hal ini terlebih dahulu:
Perusahaan riset pasar lokal Markplus Insight mengatakan bahwa kurang dari separuh pengguna internet di Indonesia menghabiskan tiga jam atau lebih untuk online dalam sehari, dengan kata lain cukup untuk menempatkan mereka dalam kategori ‘netizen’ yang tidak resmi (netizen adalah sebutan bagi mereka yang sangat gemar online dan membentuk kelompok online shopper). Terlebih, jumlah pengguna internet rumahan sangat rendah karena jaringan internet kabel untuk rumah cukup lambat dan cenderung mahal di tanah air. Hal ini bisa menjadi salah satu faktor terbatasnya pembelian online di masyarakat, berhubung kebanyakan orang masih mengakses internet dari kantor dibanding dari rumah.
(Baca juga: Laporan: inilah yang dilakukan 74,6 juta pengguna internet Indonesia ketika online )

4. Logistik untuk e-commerce tidak dapat diandalkan

Hambatan lebih lanjut dalam ranah ecommerce di Indonesia, MarkPlus Insight menambahkan, ialah konsumen mengalami kesulitan membayar barang pesanan dan mendapatkan jasa pengiriman. Buruknya infrastruktur di Indonesia menjadi salah satu alasan e-commerce disini memiliki potensi besar, karena banyak warga perkotaan tetap dapat berbelanja di area yang terkena macet. Namun jalanan yang buruk dan alamat tidak lengkap juga menjadi tantangan untuk proses pengiriman barang. Pembayaran turut menjadi masalah lainnya. Banyak pelaku retail online membutuhkan transfer melalui ATM sebelum barang dapat diantarkan. Persoalan ini membuat belanja online hanya “sedikit” lebih nyaman dibandingkan membeli di toko secara tradisional.
pembayaran online berbelit

5. Konsumen yang ikut-ikutan

Investor yang ingin membawa inovasi paling mutakhir dari Silicon Valley ke Jakarta mungkin butuh untuk berpikir ulang. Studi menunjukkan konsumen di Indonesia lebih tertarik pada produk dan jasa yang sudah memiliki nama besar di pasar. Hal ini juga menempatkan banyak konsumen Indonesia dikategorikan sebagai ”late adopters”, yang berarti belum yakin terhadap merk baru dan belum terkenal.
Firma konsultasi manajemen global McKinsey & Company mengungkapkan, “Warga perkotaan Indonesia di kelas yang konsumtif naik sebanyak lima juta orang setiap tahunnya, dan akan mencapai 86 juta di 2020. Golongan ini berorientasi pada keluarga, tidak suka resiko, dan setia terhadap merk, khususnya merk-merk lokal (walau yang dimaksud “lokal” itu hanya berdasarkan persepsi saja).”
pengguna ikut-ikutan


loading...

Artikel Terkait

Posting Terbaru