Jumat, 15 Agustus 2014

Di Balik Pembalut


Dijual biji jagung Popcorn ukuran:
1. 200 gram   = Rp. 8.000,-
2. 250 gram   = Rp. 10.000,-
3. 500 gram   = Rp. 20.000,-
4. 1000 gram = Rp. 40.000,-

Bagi yang berminat hubungi : 089652569795 / pin bb: 7dfe719a / hubungi email : ricky_kurniawan01@yahoo.com










Di Balik Pembalut
Evolusi pembalut terus mengiringi perjalanan sejarah perempuan.
OLEH: MF. MUKTHI
Dibaca: 8732 | Dimuat: 25 Februari 2011
SRI sudah mengenal pembalut modern ketika sekolah menengah pertama. Tapi meski haid datang, dia lebih memilih pembalut bikinan sendiri dari bahan kain “karena orangtua mengajarkannya seperti itu.”
Meski tak ada kriteria khusus, biasanya kain yang dipakai adalah handuk atau kain bekas yang berdaya serap tinggi. Tinggal melipat-lipat lalu menaruhnya pada celana dalam. “Layaknya pembalut zaman sekarang aja. Cuma kalo sekarang kan pake perekat, kalo dulu pake peniti,” ujar Sri Wiediati, ibu rumahtangga asal Tangerang berusia 40 tahun.
Haid merupakan rutinitas biologis tiap perempuan. Datangnya tiap bulan. Merepotkan? Jelas. Aktivitas jadi terganggu. Belum lagi rasa sakit atau malu yang timbul. “Isolasi perempuan menstruasi, yang dianggap sebagai ‘najis’, dipraktikkan di banyak budaya baik di masa lalu maupun sekarang,” tulis David John Cole, Eve Browning, dan Fred EH. Schroeder dalam Encyclopedia of Modern Everyday Inventions.
Awalnya perempuan belum menggunakan alat bantu apapun ketika haid. Perempuan di masa-masa awal Masehi menghabiskan waktu dengan duduk di sebuah tempat dengan alas yang mampu menyerap darah menstruasinya. Kitab Kejadian 31:35 mengisahkan Rachel berkata pada ayahnya bahwa dia tak bisa berdiri karena waktunya datang bulan.
Kemudian, perempuan mulai menggunakan bahan penyerap. Ada yang menggunakan papirus (perempuan Mesir kuno), daun pakis (Hawaii), lumut rumput, atau tanaman lain (Afrika), tampon kertas (Jepang), potongan pakaian atau lap (China), wol (Roma), kapas dan spons (Eropa), atau serat sayuran (Indonesia).
Bagaimana perempuan di masa lalu menggunakan pambalut terekam dalam sejumlah kisah. Di India, dalam mitos dewa Indra, seperti ditulis Wendy Doniger dalam Splitting the Difference, dikisahkan bagaimana Indra mendapatkan vagina yang sedang haid, berbau tak sedap, dan dibalut dengan kain.
Dalam beberapa tulisannya, Hippokrates, fisikawan sekaligus ahli medis Yunani kuno, menceritakan tentang perempuan-perempuan yang membuat tampon sendiri. Mereka membungkus potongan-potongan kain tiras lalu diletakkan pada bantalan dari kayu. Cendikiawati Yunani Hypatia juga menggunakan kain ketika sedang menstruasi. Kisah terkenal darinya –jika bukan yang paling menarik–, tulis Alan Cameron, Jacqueline Long, dan Lee Sherry dalam Barbarians and Politics at the Court of Arcadius, adalah ketika dia dilempari pembalut bekas oleh seorang muridnya.
Dalam perkembangannya, pembalut mulai diperdagangkan. Berdasarkan sebuah dokumen kuno di kota kecil di Tunisia, ditulis di atas kertas kulit, sebagaimana ditulis S.D. Goitein dalam A Mediterranean Society, pada dekade kedua abad ke-11 pembalut menjadi komoditas perdagangan di Laut Tengah. Hal itu diketahui dari tagihan pengiriman/pemesanan barang.
Pembalut perempuan terus berevolusi. Sempat muncul model pembalut yang penggunaannya dimasukkan ke dalam kantong dan diselipkan di antara kedua kaki. Ada pula era menstrual cup (1867), di mana mangkuk penyerap cairan dimasukkan ke dalam kain yang dikaitkan pada ikat pinggang –waktu itu perempuan belum menggunakan celana dalam. Sembilan tahun kemudian menstrual cup yang lebih baik ditemukan, dengan bahan terbuat dari karet. Selain dapat menampung darah hadis, model baru itu juga dilengkapi selang untuk mengalirkan darah ke penampungan yang dikenakan di luar, biasanya diikatkan di pinggang.
Pada abad ke-19, perawat-perawat di rumahsakit Eropa menemukan ide untuk membuat pembalut sekali pakai. Mereka membuatnya dengan bahan yang tersedia di rumahsakit: perban dari pulp kayu, yang biasa digunakan untuk merawat luka tentara, dengan bantalan penyerap terbuat dari buntalan kain.
Ide mereka lalu diadopsi sejumlah perusahaan. Berbentuk persegi empat dengan bahan kebanyakan katun, penggunaan bantalan kain itu diikatkan ke ikat pinggang atau korset si pemakai. Pembalut sekali pakai diproduksi massal pada 1900-an. Namun harganya mahal. Cuma perempuan kaya yang mampu membelinya. Ia menjadi bagian gaya hidup ekslusif perempuan kelas atas.
Sebenarnya, pada 1896, Johnson & Johnson sudah memproduksi pembalut sekali pakai dengan harga terjangkau melalui Lister’s Towels. Sayangnya, Lister’s Towel tak sukses di pasaran karena minim promosi. Kala itu mengiklankan produk yang terkait “dalaman” perempuan masih tabu. “Kebanyakan perempuan bahkan tak tahu kalau produk itu telah tersedia,” tulis Lisa Binion dalam “The History of Tampons and Sanitary Napkins”, dimuat www.bellaonline.com. Hingga beberapa dekade ke depan, tabu itu masih bertahan.
Ketika Perang Dunia I pecah, perban kapas untuk pembalut sulit diperoleh. Orang lalu menggantikannya dengan kapas selulosa. Perusahaan Kimberly-Clark memanfaatkan peluang ini. Pada 1920, produk Kotex-nya dipasarkan. Modelnya masih menggunakan sabuk elastis. Namun, Kotex baru diterima pasar pada 1926, ketika Montgomery Ward, perusahaan mail-order, mengiklankan dalam katalognya. Setelah itu, “penjualan Kotex meningkat lebih dari 8 persen tiap tahun pada awal 1930-an, menciptakan satu pasar yang sepertinya menjadi bukti [penentang, pen.] Depresi,” tulis Thomas Heinrich dan Bob Batchelor dalam Kotex, Kleenex, Huggies: Kimberly-Clark and the Consumer Revolution in American Business.
Pembalut berbantalan eksternal tebal masih kurang nyaman. Melihat ketidaknyamanan istri dan pasien-pasien perempuannya, Dr Earle Haas lalu berusaha menciptakan sebuah tampon yang dapat dipakai untuk semua perempuan pada 1929. Tampon modern pertama dengan aplikator akhirnya dia ciptakan dan dipatenkan dengan merek Tampax, dengan nama perusahaan yang sama –meski kemudian gonta-ganti pemilik. Tampax harus berjuang lama untuk bisa diterima pasar. Orang takut dampaknya: terhalangnya aliran darah yang keluar, kehilangan keperawanan, atau merangsang hasrat seksual. Baru pada 1945, ketika American Medical Association menyetujuinya, Tampax bisa leluasa menembus pasar.
“Sampai 1970, ketika Stayfree dan New Freedom dipasarkan, semua pembalut menggunakan sabuk untuk pengikat,” tulis Binion.
Stayfree dan New Freedom adalah merek pembalut; masing-masing produk Personal Products Company dan Kimberly-Clark. Di Indonesia, masa kolonial, ditunjukkan oleh iklan “Dames Gordel (Band dateng kotor)”, yang terbuat dari kain karet dengan tatakan (dinamakan “Kussen”) dari bahan kapas untuk menyerap darah haid.
Pembalut dengan perekat mulai mengambil-alih. Bahan pembuat pembalut pun berubah setelah ditemukannya serat sintetis. Bahan, bentuk, dan fungsi pembalut juga lebih baik. Katun, rayon, atau campuran keduanya merupakan bahan yang umum digunakan sekarang. Penggunaan jeli untuk meningkatkan kemampuan penyerapan cairan atau sayap yang ditambahkan untuk memperluas bidang penampungan merupakan bagian dari evolusi pembalut.
Di Indonesia, Softex menjadi pioner pemakaian pembalut sekali pakai, sehingga orang kerap menyebut pembalut dengan namanya. Softex meluncur ke pasaran pada 1974, ketika pembalut umumnya produk luar dan mahal. Berawal dari perusahaan garmen kemudian menjadi perusahaan pembalut karena karyawan perempuannya sering mengambil sisa-sisa kain untuk digunakan sebagai pembalut. Pada 1980-an, Softex merajai pasar pembalut di Indonesia.
Beragam merek kini membanjiri pasar pembalut di Indonesia. Mereka datang dengan beragam varian, harga, teknologi, dan sebagainya. “Praktis, tinggal buang. Kalau yang dulu, dicuci, dijemur dan pake lagi. Repot, harus direndam dulu. Harus punya banyak stok kain. Nyucinya juga susah, nggak bisa bersih sekali. Noda darah kan susah,” ujar Sri.
Tapi ada tantangan yang menghadang, terkait masalah higienis dan lingkungan. Oleh banyak kalangan, penggunaan dioksin bisa memicu kanker serviks, selain pencemar lingkungan yang sangat beracun. Dioksin adalah senyawa sampingan yang timbul dari hasil proses alam seperti letusan gunung atau kebakaran hutan, atau dari proses manufaktur semisal peleburan atau pemutihan.
Produsen pun terpicu memperbaiki: membuat pembalut yang lebih alami dan higienis. Yang paling umum adalah menstrual pad, pembalut dari kain tanpa bahan kimia dan bisa dipakai ulang. Mirip pembalut zaman dulu. Tidak praktis, memang, tapi aman dari sisi kesehatan.

http://historia.co.id/artikel/budaya/712/23/Majalah-Historia/Di_Balik_Pembalut
loading...

Artikel Terkait

Posting Terbaru