Kamis, 14 Agustus 2014

Kisah Nanda Thera dan cerita Lampaunya


Dijual biji jagung Popcorn ukuran:
1. 200 gram   = Rp. 8.000,-
2. 250 gram   = Rp. 10.000,-
3. 500 gram   = Rp. 20.000,-
4. 1000 gram = Rp. 40.000,-

Bagi yang berminat hubungi : 089652569795 / pin bb: 7dfe719a / hubungi email : ricky_kurniawan01@yahoo.com

NandaThera
a.   Nanda menjadi bhkkhu
Setelah Sang Buddha membabarkan Dhammacakkhapavatthana sutta, beliau berdiam di Veluvana di dekat kota Rajagaha. Ayah beliau Raja Suddhodana mengirimkan pesuruh sepuluh kali, yang setiap kali datang disertai oleh seribu pengikut, dengan perintah pada mereka: “Bawalah anakku kemari dan hadapkan dia padaku.” Telah Sembilan pesuruh yang datang tetapi mereka semua menjadi Arahat dan tak kembali lagi, akhirnya Kala Udayi Thera (sebelum menjadi bhkkhu) datang dan menjadi Arahat juga, tetapi setelah menyadari adanya waktu yang sesuai, lalu memohon agar supaya Sang Buddha pergi ia menerangkan maksudnya dan membawa beliau bersama 20.000 bhikkhu ke kota Kapilavatthu, dan karena adanya Sang Buddha bersama-sama keluarganya maka terjadilah hujan bunga (pokkharavassa), setelah itu beliau menceritakan Vessantara Jataka. Pada hari berikutnya beliau masuk kota untuk pindapata. Dengan mengucap gatha (syair) : “Seseorang harus berusaha sendiri dan hidup dengan waspada, “ ayahnya menjadi Sottapanna; selanjutnya dengan mengucapkan Gatha: “ Seseorang sebaiknya hidup dalam kebenaran, “  Maha Pajapati Gotami menjadi Sotapanna sedangkan ayahnya menjadi Sakadagami. Sehabis makan dan sehubungan dengan bakti yang ditujukan oleh ibu Rahula (Yasdhara), beliau menceritakan Canda Kinnara Jataka. Pada keesokan harinya pula, yaitu pada waktu Nanda di Abhiseka, memasuki rumah baru dan hari upacara perkawinannya berlangsung. Sang Buddha datang ke rumah tersebut untuk pindapata. Setelah selesai makan, beliau memberikan pattaNya ke tangan Nanda dan berkata ‘ Semoga Manggala (Kebahagiaan) ada padamu’; kemudian bangkit dari duduknya. Beliau pergi tanpa mengmabil patta dari Nanda. Arena hormatnya pada Tathagatha maka Nanda tidak berani berkata “Bhante, silahkan ambil patta bhante, tapi berpikir ‘ Beliau akan mengambil pattaNya sebelum menuruni tangga’”. 
      
       Tetapi walaupun Sang Buddha telah sampai di tangga beliau tak meminta pattaNya. Piker Nanda: “Beliau akan mengambilnya saat setelah menuruni tangga.” Tapi Sang Buddha tak mengambilnya pula. Pikir Nanda: “ Beliau akan mengambilnya di halaman istana.” Tapi beliau tak mengambilnya juga. Pangeran Nanda ingin sekali kembali ke sisi mempelai wanita, dan sesungguhnya mengikuti Sang Buddha ini adalah bertentangan dengan kemauannnya sendiri. Tetapi karena hormatnya kepada beliau dengana amat sangat maka ia tak berani berkata “ Ambillah pattaMu, bhante,” melainkan tetap emngikuti Sang Buddha, dengan berpikir bahwa “Beliau akan mengambilnya di sini, di situ, atau di sana.” Pada waktu itu orang-orang memberitahukan Janapada Kalyani, gadis tercantik di negaranya:”Nyonya. Bhagava telah meraikan pangeran Nanda, dengan maksud untuk meysuahkanmu.” Segera Janapada Kalyani dengan air mata bercucuran, rambut agak awut-awutan berlari sekencang-kencangnya mengejar pangeran Nanda dan berkata: “ Tuanku, segeralah kembali.” Kata-kata Janapada Kalyani ini membuat Nanda gemetar, tetapi Sang Buddha tetap tidak meminta pattaNya, malah mengantarnya sampai vihara dan berkata kepadanya:” Nanda, maukah kau menjadi bhikkhu?” Karena terlalu hormatnya kepada Sang Buddha sehingga ia tak menolak dengan berkata “Saya tak mau menjadi bhikkhu, “; tetapi jawabnya adalah: Ya, saya mau menjadi bhikkhu.” Lalu Sang Buddha berkata: “Baiklah , O bhikkhu, Upasampadakanlah Nanda.” Demikianlah yang terjadi setelah tiga hari Sang Buddha tiba di Kapilavatthu, Nanda menjadi bhikkhu.

      Pada hari ketujuh, ibu Rahula mendandani Rahula dan menyuruh menemui Sang Buddha, dengan berkata: “ Anakku, temuilah Samana yang mempunyai pengiring sebanyak 20.000 bhikkhu, tubuhNya berwarna bagaikan emas, rupaNya bagaikan Maha Brahma, Samana itu adalah ayahMu, ia memiliki harta yang banyak sekali, mintakan padaNya warisanmu dengan berkata Ayah, saya adalah pangeran, segera setelah saya di Abhiseka menjadi putra mahkota, saya akan menjadi raja Cakkavati , saya membutuhkan harta, anugerahkanlah harta kepadaku, karena anak adalah berhak atas warisan orangtuanya.” Selanjutnya pangeran Rahula pergi menemui Sang Buddha: pada saat ia melihat beliau, ia merasa suka dan cinta sekali kepada ayahNya, dan hatinya gembira ria karena beliau. Dan ia berkata “Samana, menyenangkan sekali bayanganMu” dengan berkata demikina ia telah menunjukkan perasaannya. Ketika Sang Buddha selesai makan, beliau mengucapkan Anumodana (Ucapan terima kasih dalam bentuk khotbah), bangkit dan duduk dan pergi, Pangeran Rahula mengikuti beliau dan berkata: “Samana, berikanlah warian padaku, Samana , berikanlah warisan padaku.” Sang Buddha tidak menjawabnya, par abhikkhu pun tidak dapat mencegah rahula mengikuti Sang Buddha. Dengan cara inilah Pangeran Rahula mengikuti Sang Buddha ke Arama. Sang Buddha berpikir: “Warisan orang tua yang dicari anak ini, jelas akan menyebabkan gangguan baginya. Baiklah saya akan menganugerahkan tujuh warisan Ariya yang kuketemukan di bawah pohon Bodhi; saya akan membuatnya penguasa warisan lokuttara (di atas dunia).”

      Karena itu Sang  Buddha  berkata pada Sariputta:”Sariputta, pabbajakanlah Rahula.” Setelah Rahula menjadi Samanera, Raja, kakeknya, merasa sedih sekali, dank arena tidak sanggup mengatasi kesedihannya, ia memberitahukan hal ini pada Sang Buddha dan memohon kepadaNya sebagai berikut:”Bhante, adalah lebih baik dan tepat apabila seseorang sebelum di pabbajakan sebaiknya meminta ijin kepada orangtuanya dahulu.” Sang Buddha menyetujui permintaan ini.

      Pada suatu hari pula, selagi Sang Buddha selesai makan dan duduk di istana dan raja duduk pula dengan tertibnya di sampingNya lalu raja berkata kepada Sang Buddha:”Bhante, ketika kau sedang melakukan usaha dengan penuh penderitaan, ada dewa datang menemuiku dan  berkata:”Anakmu telah mati.”

      Tetapi saya tidak mempercayainya dan menjawab:”Anakku takkan mati sebelum ia mencapai ke-Buddha-an.” Lalu Sang Buddha berkata:”Apakah kau akan mempercayai itu sekarang?” Juga pada kehidupan yang silam, ketika dewata menunjukkan tulang padamu dan berkata:”Anakmu telah mati”; kau tak mempercayainya. Sehubungan dengan hal ini, beliau menceritakkan Maha Dhammapala Jataka. Pada akhir dari cerita ini Raja menjadi Anagami.

b.   Nanda dan Bidadari
Setelah Sang Buddha membimbing Raja Sudhodana menjadi Anagami, beliau kembali ke Rajagaha disertai oleh bhikkhu Sangha. Dan karena telah berjanji kepada Upasaka Anathapindika untuk berkunjung ke Savatthi, waktu itu wihara Jetavana sedang diselesaikan, dan setelah menerima berita bahwa wihara telah selesai, beliau ke Jetavana dan berdiam di sana. Sewaktu Sang Buddha berdiam di Jetavana, bhikkhu Nanda merasa bosan hidup sebagai bhikkhu, dan menceritakan perasaannya kepada bhikkhu-bhikkhu lain dengan berkata:” Saya telah bsan, sekarang saya hidup sebagai brahmacari tetapi saya tak tahan lagi, saya berkeinginan untuk melepaskan jubah dan kembali pada kehidupan sebagai orang awam, kehidupan duniawi. Bhante, ketika saya meninggalkan rumahku, isteriku Janapada Kalyani dengan rambut yang awut-awutan berkata kepadaku:”Tuanku, Segeralah kembali, karena saya mengingat dia maka saya menjadi bosan hidup sebagai bhikkhu, sebab itu saya berkeinginan untuk melepaskan jubah dan kembali pada kehidupan sebagai orang awam, kehidupan duniawi.”

      Sang Buddha mendengar berita ini lalu memanggil Nanda dan bertanya kepadanya:” Nanda apakah benar kau mengatakan hal berikut ini kepada para bhikkhu,” “Avuso, saya bosan, sekarang saya hidup sebagai brahmacari, tetapi saya sudah tidak tahan menjadi bhikkhu lebih lama lagi, saya berkeinginan untuk melepaskan jubbah dan kembali pada kehidupan sebagai orang awam, kehidupan duniawi.”

“Bhante, itu adalah benar.”

“Tetapi, Nanda, mengapa kau menjadi bosan hidup sebagai bhikkhu sejarang ini? Mengapa tidak tahan untuk tetap sebagai bhikkhu lebih lama lagi? Mengapa kau berkeinginan untuk melepaskan jubbah dan kembali pada kehidupan biasa sebagai orang awam?”

“Bhante, ketika saya meninggalkan rumahku, isteriku Janapada Kalyani dengan rambut agak awut-awutan berkata kepadaku, Tuanku, segeralah kembali. Bhante, karena saya tetap mengingatnya maka saya menjadi bosan hidup sebagai bhikkhu pada sekarang ini, maka saya tak tahan untuk tetap menjadi bhikkhu lagi, saya berkeinginan untuk melepaskan jubbah, dan kembali pada kehidupan sebagai orang awam, kehidupan duniawi.”

      Kemudian Sang Buddha memegang tangannya, dengan kekuatan batin beliau membawanya kea lam devata Tavatimsa, dalam perjalanan Sang Buddha menunjukkan hutan yang terbakar kepada Nanda dimana seekor kera rakus lagi duduk diatas dahan yang sedang terbakar, telinga, hidung, dan ekornya telah terbakar pula.

      Ketika mereka tiba di alam Suggati Tavatimsa, beliau menunjuk lima ratus bidadari berkaki ungu mendatangi untuk melayani Sakka raja devata, setelah Sang Buddha menunjuk kedua hal ini, beliau bertanya kepadanya:”Nanda, yang mana kau pandang lebih cantik, indah  dan menyenangkan dilihat, istrimu Janapada Kalyani atau kelima ratus bidadari berkaki ungu ini?

      Jawab Nanda:”Bhante, Janapada Kalyani adalah sebanding rendahnya seperti kera yang telah kehilangan telinga, hidung dan ekornya karena terbakar, sangat jauh bedanya bila dibandingkan dengan bidadari ini, istriku tidak termasuk hitungan, ia tidak setitik kecilpun bila dibandingkan dengan mereka, sebaliknya lima ratus bidadari ini adalah sangat cantik, menarik dan molek sekali.”

“Benar, Nanda.” Jawab Sang Buddha, “Saya memberi garansi bahwa kau akan mendapatkan lima ratus bidadari berkaki ungu ini.” Kata Nanda:”Bila Tathagatha menggaransikan saya akan mendapat lima ratus bidadari ini; bhante, kalau begitu saya akan tetap senang sekali hidup sebagai bhikkhu.”
Kemudian Tahtagatha memegang bhikkhu Nanda, lenyap dari alam Suggati Tavatimsa dan muncul di Jetavana. Tidak lama kemudian berita ini tersiar:”Karena berharap akan mendapat bidadari maka bhikkhu Nanda, adik Tahtagatha, anak dari ibuNya, tidak jadi melepaskan jubbah, tetap sebagai bhikkhu karena ia akan mendapat lima ratus bidadari.”

      Akibatnya teman-teman bhikkhu Nanda memperlakukannya atau memanggilnya sebagai ‘orang bayaran atau sewaan’.

      Jadi selanjutnya mereka memanggil bhikkhu Nanda sebagai berikut.
“Bhikkhu Nanda adalah bhikkhu’bayaran atau sewaan’, dank arena mau mendapat bidadari maka ia tetap menjadi bhikkhu. Sang Buddha menggaransikan bahwa Nanda akan mendapat lima ratus bidadari.”

      Sedangkan bagi bhikkhu Nanda sendiri walaupun teman-teman bhikkhunya merendahkannya, memalukannya, menghinanya dengan memnaggilnya:”bayaran atau sewaan”, tetap bersikap tenang, menjauhkan diri dari gangguan-gangguan keramaian, waspada, berusaha dengan sungguh-sungguh, bertekad (beradithana). Tidak lama kemudian, walaupun ia masih dalam kehidupan ini, ia telah menembus, merealisasikan, telah tercapai tujuan tertinggi dalam kehidupan sebagai saman, hal inilah yang ia telah sadari:” Kelahiran tiada lagi, hidup penuh dengan kesucian, saya tidak terpengaruh oleh kehidupan duniawi lagi, tugas telah selesai.” Bhikkhu Nanda telah menjadi Arahat.

      Pada malamnya, devata datang pada Sang Buddha, menyinari seluruh Jetavana, setelah menghormat kepada Sang Buddha, ia berkata: “Bhante, bhikkhu Nanda, anak dari ibu Tathagatha, pada kehidupan ini ia telah melenyapkan kekotoran-kekotoran batin, telah menembus, merealsiasikan, telah mencapai tujuan tertinggi, seimbang, dan bijaksana.” Sang Buddha pun mengetahui bahwa:”Nanda telah melenyapkan kekotoran batin dalam kehidupan ini, telah menembus, merealisasikan, mencapai tujuan tertinggi, seimbang, bijaksana.”

      Pada malam itu pula bhikkhu Nanda menemui Sang Buddha, menghormati beliau dan berkata:”Bhante, saya membebaskan Tathagatha dari  janji yang dibuat beliau sewaktu Tahtagatha menggaransikan bahwa saya akan mendapatkan 500 bidadari berkaki ungu.” Tathagatha menjawab:”Nanda, saya sendiri mengetahui pkiranmu dan melihat bahwa dengan lenyapnya kekotoran batin dalam kehidupan ini, menembus, merealisasikan, mencapai tujuan tertinggi, seimbang dan bijaksana. Begitulah wahai Nanda, ‘kau terbebas dari ikatan-ikatan keinginan duniawi, dan hatimu telah terbebas dari belenggu belenggu, dan pada saat itulah saya terbebas dari janjiku.”

      Karena Tathagatha mengetahui makna dari hal ini, lalu mengucapkan Udana ini:
“Ia yang telah menyebrangi lautan lumpur dan melenyapkan duri nafsu indria. Ia telah melenyapkan kebodohan, ia tetap tenang, seimbang dalam sukha dan dukha.”

      Pada suatu hari bhikkhu-bhikkhu mendatangi dan bertanya kepada bhikkhu Nanda, “Avusa Nanda, dulu kau katakan bahwa’saya telah bosan’, apakah kau mengatakan hal ini pun sekarang?” “Avuso (kawan), sewaktu saya masih bodoh saya terikat pada kehidupan duniawi,” Ketika mereka mendengar jawabannya, mereka berkata:”Bhikkhu Nanda berbohong, berdusta. Dulu ia mengatakan ‘saya telah bosan’, tetapi sekarang berkata, sewaktu saya masih bodoh saya terikat pada kehidupan duniawi.” Selanjutnya mereka memberitahukan ini pada Sang Buddha. Sang Buddha menjawab:
 “Wahai, bhikkhu, dulu Nanda bagaikan atap yang bocor, tetapi sekarang ia telah menjadi seperti atap yang utuh. Sejak ia melihat bidadari ia telah berusaha untuk mencapai tujuan dari hidup kerohanian, dan sekarang ia telah mencapainya.” Setelah berkata demikian, Sang Buddha mengucapkan gatha sebagai berikut:
11. “Bagaikan air hujan menembus atap yang bocor. Demikianlah nafsu indria menembus hati yang tak terlatih.
12. Bagaikan air hujan tak menembus atap yang utuh, demikianlah nafsu tak menembus hati yang terlatih.”

      Pada akhir dari gatha ini banyak orang yang menjadi Sotapanna, juga banyak orang yang mendapat kemajuan. Para bhikkhu mulai mempercakapkan tentang hal diatas di dhammasala:”Avuso, Sang Buddha menakjubkan Bhikkhu Nanda menjadi bosan hidup dalam kebhikkhuan karena Janapada Kalyani, tetapi Sang Buddha menggunakan bidadari dan membujuknya, mengalahkan dia dengan sempurna.” Sang Buddha datang dan bertanya:”Para bhikkhu, apakah yang kamu percakapkan di sini?” Mereka memberitahukan kepada Sang Buddha, dan beliau berkata:”Para bhikkhu, ini bukan pertama kali Nanda ditaklukkan jadi penurut dengan membujuknya dengan menggunakan lawan jenisnya, hal yang sama terjadi pada kehidupan yang lampau juga”. Lalu beliau bercerita sebagai berikut:
c.   Cerita yang lampau:Kappata dan Keledai
Dulu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, di sana tinggal pula seorang pedagang bernama Kappata. Kappata mempunyai seekor keledai yang digunakan utnuk mengangkat periuk-periuk tanah dan setiap hari bepergian sejauh tujuh yojana. Pada suatu hari, Kappata memuat periuk-periuk pada keledainya dan mengiringnya ke Takkasila. Selagi ia sibuk dengan barang dagangannya, ia melepaskan keledainya berjalan-jalan, di tepi parit ia melihat seekor keledai betina dan langsung menuju kepadanya. Keledai betina menyambutnya dengan baik dan berkata kepadanya:

“Dari mana kau datang?”

“Dari Benares.”

“Dengan maksud apa?”

“Berdagang.”

“Berapa besar beban yang kau bawa?”

 “Sebuah beban besar dari periuk-periuk.”

“Berapa jauh jarak yang kau tempuh dengan membawa beban seberat itu?”

“Tujuh Yojana.”

“Di berbagai tempat yang kau kunjungi, adakah yang menggosok-gosok kaki dan punggungmu?”

“Tidak.”

“Bila demikian, kau sangat menderit a sekali.” (Tentu saja bagi binatang tidak ada yang menggosok kaki dan punggung mereka, ia bertanya demikian hanya untuk mengikat hubungan cinta mereka saja). Akibat dari kata-kata keledai betina menyebabkannya jadi tak puas. Setelah pedagang mengumpulkan barag dagangannya, ia mendapatkan keledainya dan berkata kepada keledainya:

“Marilah kita akan berangkat.”

“Pergilah kau sendiri, saya tak mau pergi.”

      Berulang-ulang pedagang membujuknya dengan kata-kata yang lembut supaya ia mau pergi, tetapi waluapun telah diusahakan, keledainya tetap diam, ia malah memarahi pedagang. Akhirnya pedagang berpikir:”Saya tahu cara untuk membuatnya mau pergi.” Dan mengucapkan gatha ini:
” Saya akan menyiksamu dengan duri enam belas inci, saya akan memotong tubuhmu berkeping-keping. Keledai, kau tahu hal ini.”

      Ketika keledai mendengar kata kata ini, ia berpikir: Dalam hal ini saya tahu apa yang harus kulakukan padamu. Setelah itu ia mengucapkan gatha ini:
“Kau katakan bahwa kau akan menyiksaku dengan duri enam belas inci. Baiklah dalam hal ini saya akan berdiri di kaki depanku dan melayangkan kaki belakangku untuk memukul gigi-gigimu, Kappata, kau tahu hal ini.”

      Ketika pedagang mendengar kata-katanya, ia berpikir “Apakah sebabnya ia berkata demikian ?”
Pedagang menengok ke kiri dan ke kanan, akhirnya matanya tertuju pada keledai betina. “Ah.” Pikir pedagang, keledai betina ini tentu yang menjadi penyebabnya. Saya kaan berkata pada keledaiku:”Saya akan membawakan pasangan bagimu di rumah.” Jadi dengan menggunakan bujukan lawan jenis, saya akan dapat membawanya pergi. Segera ia mengatakan gatha ini:
“Betina berkaki empat, dengan wajah bagaikan permata, serta sangat cantik jelita. Akan saya bawakan menjadi pasanganmu, keledai, kau tahu hal ini.”

      Ketika ia mendengar kata-kata ini, ia sangat gembira sekali, lalu menjawab dengan gatha ini:
“Jadi betina berkaki empat, wajah bagaikan permata, serta sangat cantik jelita. Kau akan jadikan pasanganku, dalam hal ini Kappata, walaupun biasanya saya menempuh tujuh yojana sehari, selanjutnya saya akan menepuh empat belas yojana.”

“Baiklah, Marilah.” Kata Kappata membawa keledainya, ia kembali ke tempat dimana gerobaknya berada dan pergi. Sesudah beberapa hari kemudian keledai bertanya kepada Kappata “Bukankah kau berjanji padaku, Saya akan membawakan pasangan padamu.” Pedagang menjawab:”Ya, saya telah berkata demikian dan saya takkan menjilat ludahku kembali, saya akan membawakan pasanganmu di rumah. Tetapi saya hanya menyediakan makanan hanya cukup bagimu saja. Apakah itu cukup atau tidak bagi kamu berdua, itu adalah persoalanmu sendiri. Setelah kamu hidup bersama-sama, kamu akan mempunyai anak, tetapi tetap saya hanya akan memberikan makanan yang hanya cukup untuk kamu mkaan sendiri saja, dan apakah itu akan cukup untuk kamu bertiga makan nanti, itu adalah persoalanmu sendiri.

      Setelah pedagang mengatakan hal ini, keledai telah kehilangan keinginannya. Ketika Sang Buddha telah mengakhiri ceritaNya, beliau menyimpulkan cerita Jataka ini sebagai berikut:”Pada waktu itu, wahai bhikkhu, keledai betina adalah Janapada Kalyani, keledai jantan adalah Nanda, dan pedagang adalah saya sendiri. Pada waktu yang lampaupun, Nanda telah ditaklukkan dengan bujukan untuk mendapat lawan jenisnya.”

 Sumber: Buku Dhammapada Atthakatha, dengan alih bahasa Bhikkhu Aggabalo
loading...

Artikel Terkait

Posting Terbaru