Jumat, 15 Agustus 2014

Sepuluh Trivia Film “Into the Storm”

Dijual biji jagung Popcorn ukuran:
1. 200 gram   = Rp. 8.000,-
2. 250 gram   = Rp. 10.000,-
3. 500 gram   = Rp. 20.000,-
4. 1000 gram = Rp. 40.000,-
Bagi yang berminat hubungi : 089652569795 / pin bb: 7dfe719a / hubungi email : ricky_kurniawan01@yahoo.com


Sepuluh Trivia Film “Into the Storm”


Oleh  | Shinta Setiawan – 4 jam yang lalu
Walaupun tidak seratus persen konsisten dengan premis found footage yang ditawarkannya, “Into the Storm” (2014) menawarkan alternatif film menarik di luar “Twister” (1996) yang statusnya sebagai film tornado favorit masih sulit digusur. Meski menampilkan cerita yang lemah, aspek visual dari “Into the Storm” memberi nilai tambah yang membuat film ini layak disaksikan di bioskop. Bila Anda sudah menonton filmnya dan ingin tahu lebih banyak mengenai pembuatannya, mari simak pembahasan di bawah ini. Berikut adalah sepuluh trivia film “Into the Storm”.
Into the StormInto the Storm

1. Ide Todd Garner

Sebelum mengeksplorasi film bencana alam dalam format found footage, sang penulis naskah, John Swetnam, telah terlebih dahulu bermain-main dengan format ini melalui film horor “Evidence” (2013). Film yang dihasilkan dengan gabungan antara pembuatan film tradisional dan found footage ini dibintangi oleh Stephen Moyer serta Radha Mitchell. Meski ratingnya biasa saja, “Evidence” menarik minat produser bernama Todd Garner yang merasa bahwa Swetnam punya kemampuan untuk menggali potensi film found footage untuk genre yang sama sekali berbeda. Setelahnya, Garner menghubungi agen yang mewakili Swetnam dan memintanya untuk membuat naskah berdasarkan ide yang dilontarkannya.

“Karena film Evidence, Todd Garner, seorang produser terkenal yang telah memproduksi ratusan film, mengirim email ke agen saya dan berkata bahwa ia sudah membaca dan menyukai beberapa naskah found footage yang saya buat. Ini adalah email yang mengandung tiga kata, ‘Inspiratif, tornado, dan POV.’ Saya pernah tinggal di Nashville dan teman-teman saya kehilangan semuanya dalam sebuah tornado, dan segera setelah saya melihat tiga kata tersebut, saya tahu dengan jelas bagaimana caranya untuk menceritakan kisah ini dengan sangat berbeda,” kata Swetnam.

2. Category Six

Setelah pembicaraan dengan Todd Garner, John Swetnam menulis naskah found footage bergenre bencana alam berjudul “Category Six”. Di bulan Oktober 2011, naskah tersebut dibeli oleh New Line Cinema seharga 300.000 dolar Amerika Serikat. Garner yang memiliki ide awal untuk ceritanya turut bergabung sebagai produser di bawah perusahaan Broken Road. Selama beberapa tahun ke depan, “Category Six” ganti judul menjadi “Black Sky”, sebelum akhirnya punya judul final “Into the Storm”.

3. Efek Visual

Meski membutuhkan sekitar 600 shot dengan VFX, “Into the Storm” dibuat dengan biaya relatif murah. Dari total bujet 50 juta dolar, hanya 23 juta saja yang dihabiskan untuk produksi VFX filmnya. Meski demikian, “Into the Storm” sempat mengalami kendala besar yang mengakibatkan kemunduran jadwal akibat perusahaan VFX yang telah dipilih, Rhythm & Hues, menyatakan kebangkrutannya di tahun 2013. Walaupun masalah ini mengakibatkan dana 3 juta dolar dari kocek mereka terbuang sia-sia, insentif pajak sebesar 9,5 juta dolar yang mereka terima karena syuting di Michigan ternyata justru mengubah kesialan ini menjadi keberuntungan.



Meski gagal bekerja sama dengan Rhythm & Hues, sang sutradara, Steven Quale, yang sudah sangat yakin apa saja yang diinginkannya dalam VFX shots yang dibutuhkan filmnya kemudian membagi pekerjaan besar ini pada 15 perusahaan – termasuk Digital Domain, MPC, Method Studios, Scanline, Hydraulx, dan Scanline – untuk mengerjakan tipe tornado yang berbeda-beda. Sebagai contoh, tornado api yang muncul di pertengahan film merupakan hasil karya Digital Domain yang memang salah satu spesialisasinya adalah VFX yang berkaitan dengan fenomena alam.

4. Belajar Bersama Profesor

Sebelum berperan sebagai Allison, Sarah Wayne Callies melakukan riset mengenai pekerjaan seorang pakar meteorologi, serta detail mengenai tornado sebanyak mungkin. Karena dirinya punya orang tua yang merupakan akademisi, Callies melihat bahwa riset merupakan sesuatu yang sangat penting. Jadi, untuk persiapan berperan dalam film ini, ia mencari bantuan dari seseorang yang lebih ahli soal cuaca.

“Jadi saya punya buku teks meteorologi, dan saya pikir saya bisa hanya membaca saja dan mencoba untuk memahaminya. Tetapi, setelah baru membaca lima belas halaman, saya menemukan bahwa saya tidak punya cukup pengetahuan untuk memahami apa yang sedang dibicarakan. Jadi, saya menghubungi seorang profesor meteorologi di University of Michigan yang letaknya di Ann Arbor, sangat dekat dengan lokasi syuting kami di Detroit,” kata Callies dalam wawancaranya dengan Geektown.
“Dia adalah profesor emeritus atau kepala dari departemen tersebut, dan ternyata merupakan pria yang ramah, usianya sepertinya 80-an tahun. Jadi ketika saya menelpon, saya terdengar seperti gadis kota, ‘Halo, saya adalah seorang aktor dan saya punya beberapa pertanyaan mengenai cuaca. Ini adalah sebuah film baru.’ Dan untungnya, kami akhirnya benar-benar bertemu untuk makan siang ketika sedang memfilmkan adegan, dan ia sangat sabar, ia menjawab berbagai pertanyaan saya dan menggambar macam-macam gambar untuk membantu menjelaskan mengenai bidang ini untuk seseorang yang tidak benar-benar memahaminya. Ia sangat baik.”

5. Audisi

Max Deacon dan Nathan Kress mendapatkan kesempatan untuk audisi setelah keduanya mengirim rekaman akting mereka. Setelahnya, Kress dikabari bahwa tim pembuat filmnya menyukai rekaman tersebut dan mengundangnya untuk tes chemistry dengan Alycia Debnam Carey (pemeran Kaitlyn). Meski mengajukan diri untuk memerankan karakter Donnie, yang akhirnya mendapatkan peran tersebut justru adalah Deacon – Kress mendapatkan peran sebagai Trey.

Deacon sendiri dipanggil untuk audisi melalui Skype dengan Steven Quale setelah mengirim rekamannya. Salah satu adegan yang dicontohkan oleh Deacon melalui audisi tersebut adalah adegan improvisasi di mana ia memberi salam perpisahan terakhir pada anggota keluarganya.

6. Titus

Mobil khusus bernama Titus yang dikendarai oleh Pete (Matt Walsh) dalam film ini dirancang oleh sang desainer produksi, David Sandefur. Kendaraan yang dibuat berdasarkan truk pickup ini dilengkapi dengan jendela Lexan tahan peluru, pelat baja setebal 4mm, derek dengan kapasitas 12 ton, pusat pemantau cuaca mini yang dilengkapi anemometer, serta sensor kelembaban, dan potentiometer.

Titus dibuat di Detroit oleh Kustom Creations, dengan menggunakan sasis truk pickup Dodge sebagai dasarnya. Selain dilengkapi dengan besi penopang yang berfungsi sebagai jangkar untuk menahan angin dengan kekuatan sampai 270 km/jam, Titus juga dilengkapi kubah yang dapat berputar 360 derajat, serta dilengkapi kamera yang distabilkan dengan giroskop. Untuk melengkapi tampilan Titus yang sangar, bodinya juga dibuat penyok serta dilapisi dengan lumpur dan debu sehingga terlihat seperti sebuah kendaraan yang sudah digunakan bertahun-tahun.

7. Es Batu Seharga Ribuan Dolar

Untuk menciptakan cuaca ekstrim dalam film ini, Quale dan timnya menggunakan banyak cara untuk mengakali suhu Michigan yang sebenarnya sedang panas. Salah satu bagian yang dibuat secara detail oleh Quale adalah adegan hujan es yang terjadi saat Pete dan timnya sedang berada di sebuah hotel. Apabila banyak film hanya menggunakan es yang dihancurkan, lalu disemburkan di atas set, Quale ingin agar es yang menghujani set benar-benar mirip dengan hujan es asli.

Untuk menciptakan bongkahan-bongkahan es dengan bentuk bulat sempurna yang diinginkannya, ia menggunakan jasa perusahaan pembuat es yang sering menyediakan es batu untuk restoran mewah. Masalahnya, setiap bongkah es ini masing-masing harganya satu dolar Amerika Serikat. Karena jumlah es yang mereka beli jumlahnya terbatas, adegan ini hanya dapat disyuting ulang sebanyak tiga kali sebelum kehabisan stok es. Maka, untuk tiga kali take ini, timnya mempersiapkan adegan tersebut dengan matang supaya tidak ada kesalahan. Setelah tiga kali take, ternyata adegan tersebut terlihat lancar, dan dapat dilihat sendiri hasilnya oleh penonton di bioskop.

8. Runtuhnya Atap Sekolah

Meski punya latar belakang yang kuat di bidang VFX, Steven Quale bertekad untuk sebisa mungkin menggunakan efek praktis, tanpa terlalu mengandalkan green screen. Tetapi, dalam sebuah adegan berbahaya, Quale akhirnya menyerah dan syuting ulang dengan green screen demi alasan keamanan. Adegan bermasalah ini merupakan adegan di mana atap Silverton High dikoyak oleh tornado.

Awalnya, adegan yang menampilkan para murid yang sedang berlindung di lorong sekolah ini dibuat dengan efek praktis yang melibatkan kabel khusus dan atap yang nantinya akan terkoyak ke atas. Tetapi, saat adegan tersebut dicoba, mereka ternyata gagal ketika salah satu kabelnya putus sehingga atap tersebut amblas ke bawah. Untungnya, atap tersebut tidak seberat atap asli, dan tidak jatuh pas di atas para pemerannya. Meski demikian, ada satu pemeran yang mengalami luka kecil. Karena hal ini, adegan kemudian diulang dengan menggunakan green screen di bagian atap, dan sisanya dilakukan dengan meniupkan mesin angin di lorong tersebut.

Into the StormInto the Storm
9. Air Dingin

Syuting dalam keadaan basah dengan tiupan angin kencang merupakan sebuah resiko yang siap ditanggung oleh para pemeran film “Into the Storm”. Tetapi, dalam syuting berdurasi 55 hari ini, ada beberapa saat di mana para aktor dan aktrisnya punya alasan untuk mengeluh. Salah satunya merupakan syuting untuk adegan terakhir di mana mereka harus terus menerus diguyur air dan diterpa angin yang sangat kencang.

“Ada satu hari di mana kami syuting di Michigan dan musimnya sedang berganti di sana, jadi kami bergerak dari musim panas ke musim gugur. Pada suatu pagi ketika kami datang untuk syuting sekuens terowongan, mereka meninggalkan tong-tong air di luar ketika hujan semalaman. Di malam hari, Michigan sangat dingin, jadi ketika kami datang, kami berpikir, ‘Satu hari lagi di terowongan. Mari bersiap-siap.’ Kami tidak tahu bahwa ketika mereka menyalakan kipas anginnya dan menyiramkan air, rasanya seperti air es,” kata Alycia Debnam Carey pada Collider. “Dan kami mulai menjerit-jerit,” kata Max Deacon menimpali. “Terdengar jeritan di seantero studio. Dan mereka lalu bertanya, ‘Ada apa?’” tambah Debnam Carey.

10. Usul James Cameron

Quale yang merupakan second unit director di film “Titanic” (1997) dan “Avatar” (2009) merupakan teman baik James Cameron. Sebelum “Into the Storm” selesai dibuat, Quale menunjukan filmnya pada Cameron dan meminta pendapatnya. Ternyata, Cameron tidak memberi nasihat untuk urusan teknis. Ia justru memberi masukan untuk pengembangan karakter salah seorang tokohnya, dan saran ini akhirnya dimasukkan oleh Quale dalam filmnya.

“Di film ini ada karakter bernama Trey yang merupakan si bungsu yang memiliki pisau. Kemudian ketika sang ayah mencoba untuk melepaskan seorang pria tua dari sabuk pengaman, Trey memberinya pisau lipat tersebut. Kemudian ia berkata, ‘Kamu tidak seharusnya memiliki pisau ini,’ dan Richard Armitage mengambil pisau itu darinya. Ini adalah adegan yang tadinya ada di film aslinya, dan ketika Jim berkata, ‘Kamu tahu, bukankah ini bagus kalau di akhir film, Richard memberi pisau tersebut kembali pada putranya sebagai semacam simbol untuk menyatakan bahwa, ‘Kamu sekarang sudah menjadi seorang pria dewasa. Aku percaya padamu. Kamu telah mengalami seluruh masalah ini dan kamu berhasil tetap hidup dan melewatinya, dan kita memiliki ikatan bersama. Jadi ini adalah simbol bahwa kamu telah menjadi seorang pria dewasa.’ Dan ia kemudian mengembalikan pisau itu padanya.’ Ini hanyalah merupakan sentuhan kecil, nonverbal, tetapi hal-hal kecil inilah yang membuat perbedaan,” kata Quale dalam wawancaranya dengan Crave Online.

https://id.celebrity.yahoo.com/blogs/shinta-setiawan/trivia-film-into-the-storm-044952034.html
loading...

Artikel Terkait

Posting Terbaru