HISTORIA.CO.ID - Perdebatan aborsi mengemuka sejak zaman Yunani Kuno. Pangkalnya pada kapan janin mempunyai jiwa.
MENTERI Kesehatan Nafsiah Mboi menyatakan pemerintah siap mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang kesehatan reproduksi yang memuat pasal mengenai praktik aborsi legal. Pemerintah akan menerapkannya mulai 16 Agustus 2014. Dalam peraturan itu tertera syarat praktik aborsi legal; antara lain akibat pemerkosaan dan kedaruratan medis. Perdebatan pun muncul di masyarakat. Ini membuka lagi perdebatan lama soal praktik aborsi.
Hippocrates (460-370 SM), ahli medis terkemuka Yunani, tak mendukung praktik aborsi. “Aku tidak akan memberikan obat-obat yang mematikan, meski diminta, dan aku juga tidak akan memberikan nasihat seperti itu. Dengan cara yang sama, aku tidak akan memberikan obat-obatan kepada seorang perempuan yang bisa mengakibatkan aborsi,” tulis Hippocrates dalam On the Nature of the Woman. Tapi Praktik aborsi berlangsung luas di Yunani.
Orang Yunani tak memandang aborsi sebagai suatu pembunuhan atau perbuatan keji, apapun metode aborsinya. “Tidak ada hukum yang mengatur mengenai aborsi dan negara hanya turun tangan apabila hal itu berkaitan dengan perlindungan atas hak tuan (pemilik) perempuan, dalam kondisi dia merdeka atau menjadi budak,” tulis Nikolaos A Vrissimtzis dalam Erotisme Yunani.
Sejumlah filsuf cenderung toleran terhadap laku aborsi. Plato (427-347 SM) berpendapat janin belum bisa dianggap sebagai manusia. Maka pengguguran janin tak bisa dianggap sebagai perbuatan kriminal.
Ada selingkar penentang laku aborsi di Yunani. Mereka pengikut filsuf Phytagoras (582-496 SM). “Menurut mereka, nyawa atau jiwa manusia masuk ke tubuh sejak pembuahan. Kapanpun aborsi dilakukan, itu berarti penghilangan nyawa makhluk hidup,” tulis Kourkouta Lambrini dalam “Views of Ancient People on Abortion,” termuat di Health Science Journal Volume 7, tahun 2013. Tapi filsuf lain, Aristoteles (384-322 SM), menolak pendapat itu.
Aristoteles menyatakan “Aborsi harus dilakukan sebelum janin bernyawa dan menendang (quickening).” Dia menggolongkan aborsi semacam itu sebagai pengendalian kelahiran. Ini sesuai dengan konsepnya tentang kota ideal. “Jika pembuahan berlangsung kala jumlah penduduk berlebih, aborsi bisa dilakukan,” tulis John Riddle dalam Contraception and Abortion from the Ancient World to the Renaissance. Asumsi Aristoteles tentang tahap perkembangan janin itu bertahan selama ratusan tahun.
Di wilayah Asia, praktik aborsi termaktub dalam relief di Angkor Wat, Kamboja. Candi ini dibangun pada abad ke-12. “Relief aborsi tampak dalam panel tentang gambaran neraka tingkat 32. Seorang perempuan telentang; telanjang dengan tangan terikat; dan hamil 20 minggu. Ada seorang laki yang memijat perutnya menggunakan alu,” tulis Malcolm Potts dkk dalam “Thousand-year-old Depictions of Massage Abortion,” termuat di The Journal of Family Planning and Reproductive Health Care. Orang-orang di Kepulauan Melayu dan Filipina juga karib dengan pijat untuk praktik aborsi.
Penduduk setempat menganggap praktik aborsi sebagai kejadian biasa. “Dalam epik Sejarah Melayu(tahun 1612) pengguguran kandungan diterangkan sebagai kejadian biasa,” tulis Anthony Reid dalamAsia Tenggara Dalam Kurun Niaga.
Pada awal abad ke-19, asumsi Aristoteles tentang janin mendapat serangan dari Ferdinand Kember, seorang dokter. Dia ragu bahwa tahap kehidupan janin dimulai pada hari ke-40 setelah pembuahan.
Menurut Kember, quickening bukan awal titik penting perkembangan bayi. “Penemuan Kember menyiratkan bahwa jiwa sudah ada saat pembuahan,” tulis Jeffrey H Reiman dalam Abortion and the Ways We Value Human Life. Maka praktik aborsi bisa dinilai sebagai pembunuhan manusia. Kelompok penentang aborsi pun beroleh angin. Di sejumlah negara, mereka menuntut pemerintah melarang laku aborsi dengan hukum.
Sejumlah negara lantas merumuskan aturan mengenai aborsi. Di Amerika Serikat, beberapa negara federal melarangnya. Koran-koran tak lagi bebas mengiklankan praktik aborsi. Sebagian lagi mengizinkan dengan beberapa syarat, misalnya tetap membolehkan aborsi terapetis (demi keselamatan ibu). Yang penting dilakukan secara medis.
Memasuki abad ke-20, gerakan pro-aborsi kembali menguat. Ini terkait dengan kemunculan gerakan dan gagasan feminisme di sejumlah negara Barat. Menurut mereka, aborsi bukan soal kapan kehidupan dimulai, melainkan soal hak perempuan menentukan pilihannya.
Di Indonesia, undang-undang mengenai aborsi sudah ada sejak 1918. “Undang-undang ini membuat aborsi yang semata-mata bertujuan menggugurkan kandungan menjadi tindak kejahatan,” tulis Gayung Kasuma dalam “Perilaku Aborsi di Jawa Masa Kolonial,” termuat di Kota-Kota di Jawa. Pemerintah kolonial mengeluarkan undang-undang ini lantaran melihat praktik aborsi yang membahayakan nyawa perempuan, seperti cara pijat tradisional.
Undang-undang ini bertahan hingga kemerdekaan. Pemerintah melarang segala jenis praktik aborsi. Meski begitu, dukun dan dokter membuka praktik itu secara tertutup. Begitu terbongkar, praktik itu bikin geger. Seperti kasus Dokter CL Blume di Jakarta pada 1960-an. Dia didakwa membuka praktik aborsi selama tujuh tahun. Teknik aborsinya mengikuti teknik di negara Barat: menginjeksi pasien dengan pantopan yang mengandung morfin. “Tujuannya membuat kandungan mati lemas,” tulisKompas, 16 Agustus 1969. Semua proses aborsi hanya memakan waktu 20 menit.
Hingga kini perdebatan soal aborsi masih berlangsung di banyak negara. Sementara perkembangan teknik aborsi begitu pesat. Cara pandang perempuan terhadap kehamilannya pun tak pernah seragam. Ada yang menikmatinya, ada pula yang tak menginginkannya sama sekali.
https://id.berita.yahoo.com/kontroversi-aborsi-152437403.html