INILAH.COM, Jakarta – Perolehan pasangan JK-Wiranto dalam hitung cepat lembaga survei hanya di kisaraan 11-12%. Perolehan ini memicu komplikasi politik di internal tim sukses pasangan yang diusung koalisi Golkar-Hanura itu. Saling tuding pun mengiringi kekalahan mereka. Siapa kambing hitamnya?
Perolehan suara JK-Wiranto sungguh mengejutkan banyak pihak. Padahal, menjelang hari-H pencontrengan, mayoritas lembaga survei memprediksikan suara JK-Wiranto mampu melesat. Namun, dari ragam hasil hitung cepat suara JK-Wiranto justru anjlok dibanding perolehan Golkar dan Hanura di Pemilu Legislatif yang jika ditotal mencapai 22%.
Banyak yang menduga perolehan JK-Wiranto yang tak signifikan itu terkait dengan lemahnya soliditas internal Golkar dalam mendukung kemenangan JK-Wiranto. Setidaknya, gejolak yang muncul sebelum dan sesudah pencapresan JK, menjadi indikasi betapa sikap Golkar tak bulat dalam mendukung pancapresan Ketua Umum Partai Golkar tersebut.
Anggapan tersebut muncul di tengah mencuatnya wacana Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) untuk menggantikan kepemimpinan JK di partai berlambang beringin tersebut.
Kondisi ini seperti menegaskan bahwa kekalahan JK justru ditunggu-tunggu oleh kader Golkar yang tak seirama dengan kepemimpinan JK. Alasan kegagalan dalam dua pemilu sekaligus juga menjadi legitimasi politik untuk menggusur JK.
Di sisi lain, percepatan pergantian kepemimpinan partai ini juga terkait dengan penyusunan pemerintahan SBY-Boediono yang bakal dimulai pada 20 Oktober 2009 mendatang. Peristiwa tersebut tentunya saling terkait satu dengan lainnya.
Menurut Ketua Tim Kampanye Nasional JK-Wiranto, Fahmi Idris, sudah menjadi rahasia umum perihal tidak solidnya Golkar dalam mendukung JK, termasuk adanya upaya pendongkelan JK dari kursi ketua umum Golkar.
“Ada beberapa pihak di internal Golkar yang berkehendak JK ini bersama SBY. Tapi karena JK sudah jadi capres dan Pak SBY sudah dapat Boediono, jadi kehendak itu gugur,” jelas Fahmi di Posko Slipi II, di Jakarta, Kamis (9/7).
Selain faktor tersebut, Fahmi menyebut kekalahan JK tidak terlepas dari minimnya dana kampanye yang dimiliki capres terkaya ini. Menurut Fahmi, dengan keterbatasan dana JK-Wiranto, sulit bagi timnya untuk mengkontrol operasi pemenangan.
Tak hanya persoalan dana, persoalan kisruh DPT juga menjadi penyebabnya. Selain itu juga soal sosialisasi putusan MK yang mepet. “Dampaknya, banyak sekuilitan terjadi pada praktik di lapangan,” ungkapnya.
Sementara, anggota Dewan Penasehat DPP Partai Golkar Sultan HB X menilai, kekalahan JK-Wiranto dalam Pilpres 2009 bukan semata-mata karena tidak berfungsinya mesin partai. Dalam pilpres, menurut Sultan, pilihan rakyat lebih ditentukan oleh figur yang diusung. “Kalah ya kalah, jangan cari kambing hitam,” cetus Sultan di Yogyakarta.
Penegasan Sultan ini sangat terkait dengan wacana Munaslub yang kian santer didengungkan di internal Golkar. Menyalahkan struktur partai sama saja dengan mendelegitimasi politik dan moral kepemimpinan JK di Partai Golkar.
Sementara Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Agung Laksono menilai, faktor kekalahan JK-Wiranto dalam Pilpres 2009 ini tidak terlepas dari figur yang diusung. “Bisa saja meleset, tapi apa boleh buat,” kata Agung di gedung DPR, Kamis (9/7).
Namun bagi pengamat politik Hendarmin Randireksa, kekalahan telak JK-Wiranto yang tidak diduga oleh berbagai pihak terkait dengan ulah tim kampanye nasional JK-Wiranto. “Tidak tepat jika mengaitkan kekalahan JK-Wiranto dengan mesin partai. Tidak ada hubungannya antara mesin partai dalam pilpres,” tegas Hendarmin di Bandung.
Padahal, sambung Hendarmin, figur JK-Wiranto yang lugas, sederhana, dan apa adanya, kontradiktif dengan performa tim kampanye nasional yang terkesan kasar, tidak mencerminkan karakter capres yang diusung.
“Coba lihat tim sukses JK-Wiranto seperti Indra Piliangdan Ali Muchtar Ngabalin. Kalau berkomentar, mereka selalu keras, tidak santun,” katanya. Kendati Hendarmin jauh-jauh hari telah memprediksi JK memang akan kalah oleh SBY, ia tak menduga perolehan JK serendah itu.
Mengevaluasi pekerjaan masa lalu memang selalu perlu. Namun evaluasi bukanlah untuk saling menyalahkan satu sama lain. Sangat disayangkan bila evaluasi versi elit Golkar ini berbuah pada evlauasi pucuk kepemimpinan. Lalu, siapa sebenarnya kambing hitam JK?(inilah)
Perolehan suara JK-Wiranto sungguh mengejutkan banyak pihak. Padahal, menjelang hari-H pencontrengan, mayoritas lembaga survei memprediksikan suara JK-Wiranto mampu melesat. Namun, dari ragam hasil hitung cepat suara JK-Wiranto justru anjlok dibanding perolehan Golkar dan Hanura di Pemilu Legislatif yang jika ditotal mencapai 22%.
Banyak yang menduga perolehan JK-Wiranto yang tak signifikan itu terkait dengan lemahnya soliditas internal Golkar dalam mendukung kemenangan JK-Wiranto. Setidaknya, gejolak yang muncul sebelum dan sesudah pencapresan JK, menjadi indikasi betapa sikap Golkar tak bulat dalam mendukung pancapresan Ketua Umum Partai Golkar tersebut.
Anggapan tersebut muncul di tengah mencuatnya wacana Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) untuk menggantikan kepemimpinan JK di partai berlambang beringin tersebut.
Kondisi ini seperti menegaskan bahwa kekalahan JK justru ditunggu-tunggu oleh kader Golkar yang tak seirama dengan kepemimpinan JK. Alasan kegagalan dalam dua pemilu sekaligus juga menjadi legitimasi politik untuk menggusur JK.
Di sisi lain, percepatan pergantian kepemimpinan partai ini juga terkait dengan penyusunan pemerintahan SBY-Boediono yang bakal dimulai pada 20 Oktober 2009 mendatang. Peristiwa tersebut tentunya saling terkait satu dengan lainnya.
Menurut Ketua Tim Kampanye Nasional JK-Wiranto, Fahmi Idris, sudah menjadi rahasia umum perihal tidak solidnya Golkar dalam mendukung JK, termasuk adanya upaya pendongkelan JK dari kursi ketua umum Golkar.
“Ada beberapa pihak di internal Golkar yang berkehendak JK ini bersama SBY. Tapi karena JK sudah jadi capres dan Pak SBY sudah dapat Boediono, jadi kehendak itu gugur,” jelas Fahmi di Posko Slipi II, di Jakarta, Kamis (9/7).
Selain faktor tersebut, Fahmi menyebut kekalahan JK tidak terlepas dari minimnya dana kampanye yang dimiliki capres terkaya ini. Menurut Fahmi, dengan keterbatasan dana JK-Wiranto, sulit bagi timnya untuk mengkontrol operasi pemenangan.
Tak hanya persoalan dana, persoalan kisruh DPT juga menjadi penyebabnya. Selain itu juga soal sosialisasi putusan MK yang mepet. “Dampaknya, banyak sekuilitan terjadi pada praktik di lapangan,” ungkapnya.
Sementara, anggota Dewan Penasehat DPP Partai Golkar Sultan HB X menilai, kekalahan JK-Wiranto dalam Pilpres 2009 bukan semata-mata karena tidak berfungsinya mesin partai. Dalam pilpres, menurut Sultan, pilihan rakyat lebih ditentukan oleh figur yang diusung. “Kalah ya kalah, jangan cari kambing hitam,” cetus Sultan di Yogyakarta.
Penegasan Sultan ini sangat terkait dengan wacana Munaslub yang kian santer didengungkan di internal Golkar. Menyalahkan struktur partai sama saja dengan mendelegitimasi politik dan moral kepemimpinan JK di Partai Golkar.
Sementara Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Agung Laksono menilai, faktor kekalahan JK-Wiranto dalam Pilpres 2009 ini tidak terlepas dari figur yang diusung. “Bisa saja meleset, tapi apa boleh buat,” kata Agung di gedung DPR, Kamis (9/7).
Namun bagi pengamat politik Hendarmin Randireksa, kekalahan telak JK-Wiranto yang tidak diduga oleh berbagai pihak terkait dengan ulah tim kampanye nasional JK-Wiranto. “Tidak tepat jika mengaitkan kekalahan JK-Wiranto dengan mesin partai. Tidak ada hubungannya antara mesin partai dalam pilpres,” tegas Hendarmin di Bandung.
Padahal, sambung Hendarmin, figur JK-Wiranto yang lugas, sederhana, dan apa adanya, kontradiktif dengan performa tim kampanye nasional yang terkesan kasar, tidak mencerminkan karakter capres yang diusung.
“Coba lihat tim sukses JK-Wiranto seperti Indra Piliangdan Ali Muchtar Ngabalin. Kalau berkomentar, mereka selalu keras, tidak santun,” katanya. Kendati Hendarmin jauh-jauh hari telah memprediksi JK memang akan kalah oleh SBY, ia tak menduga perolehan JK serendah itu.
Mengevaluasi pekerjaan masa lalu memang selalu perlu. Namun evaluasi bukanlah untuk saling menyalahkan satu sama lain. Sangat disayangkan bila evaluasi versi elit Golkar ini berbuah pada evlauasi pucuk kepemimpinan. Lalu, siapa sebenarnya kambing hitam JK?(inilah)