Jika salah satu bagian dari keluarga kita ada yang meninggal dunia, paling paling kita hanya menangis 7 hari 7 malem saja paling lama. Atau teriak teriak kayak orang kesetanan. Tapi lain halnya dengan masyarakat pengunungan tengah Papua (Wamena).
Ungkapan kesedihan akibat kehilangan salah satu anggota keluarga tidak hanya dengan menangis saja. Mereka melumuri tubuhnya dengan lumpur dan yang paling sadis, mereka juga harus memotong jari tangannya. sebuah tradisi dari masyarakat yang tidak mengenal pengetahuan.
Hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh para Yakuza (kelompok orangasasi garis keras terkenal di Jepang) jika mereka telah melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi atau gagal dalam menjalankan misi mereka. Sebagai ungkapan penyesalannya, mereka wajib memotong salah satu jarimereka. Bagi masyarakat pengunungan tengah, pemotongan jari dilakukan apabila anggota keluarga terdekat seperti suami, istri, ayah, ibu, anak, kakak, atau adik meninggal dunia.
Pemotongan jari ini melambangkan kepedihan dan sakitnya bila kehilangan anggota keluarga yang dicintai.
Ungkapan yang begitu mendalam, bahkan harus kehilangan anggota tubuh. Bagi masyarakat pegunungan tengah, keluarga memiliki peranan yang sangat penting. Bagi masyarakat Balim Jayawijaya kebersamaan dalam sebuah keluarga memiliki nilai-nilai tersendiri.
Pemotongan jari itu umumnya dilakukan oleh kaum ibu. Namun tidak menutup kemungkinan pemotongan jari dilakukan oleh anggota keluarga dari pihak orang tua laki-laki atau pun perempuan. Pemotongan jari tersebut dapat pula diartikan sebagai upaya untuk mencegah ‘terulang kembali’ malapetaka yang telah merenggut nyawa seseorang di dalam keluarga yang berduka.
Pemotongan jari dilakukan dengan berbagai cara. Ada yang memotong jari dengan menggunakan alat tajam seperti pisau, parang, atau kapak. Cara lainnya adalah dengan mengikat jari dengan seutas tali beberapa waktu lamanya sehingga jaringan yang terikat menjadi mati kemudian dipotong.
Namun kini budaya ‘potong jari’ sudah ditinggalkan. sekarang jarang ditemui orang yang melakukannya beberapa dekade belakangan ini. Hal ini disebabkan oleh karena pengaruh agama yang telah masuk hingga ke pelosok daerah di Papua.
Tapi di sebagian tempat masih dapat kita jumpai saat ini yaitu mereka yang masih tinggal di pedalaman hutan Papua.